Berbagai capaian serta pembelajaran yang diperoleh selama 15 tahun dalam mencegah dan menangani kasus telah menyiapkan gerakan perempuan untuk terus maju mengupayakan penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (KtP).
Demikian pernyatan pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang diterima politikindonesia.com, memperingati 15 tahun berdirinya lembaga itu, di Jakarta, Selasa (22/10).
HUT Komnas Perempuan kali ini, mengangkat tema “Menata Langkah Bersama Memajukan Upaya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan”. Kegiatan ini dihadiri 95 wakil organisasi, terutama pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan, di 17 provinsi, dari Papua hingga Aceh.
Dijelaskan anggota Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, Komnas Perempuan adalah salah satu tonggak sejarah capaian gerakan perempuan dan kini menjadi contoh bagi negara lain yang bermaksud juga memiliki lembaga nasional hak asasi manusia yang berfokus pada isu kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan lahir dari desakan masyarakat anti kekerasan terhadap perempuan, khususnya kelompok perempuan, kepada negara untuk bertanggungjawab atas tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual di dalam Tragedi Mei 1998.
Sebagai putri sulung reformasi, para pendiri Komnas Perempuan telah meletakkan pondasi lembaga yang independen dan otonom, terbuka, transparan dan akuntabel, serta konstruktif-transformatif atau memperbaiki sistem. Selama 15 tahun, Komnas Perempuan mengokohkan pondasi ini lewat menggagas cara kerja yang mendasarkan pada hak-hak korban (atas Kebenaran, Keadilan dan Pemulihan), konsultasi dan bermitra dengan berbagai pihak, pertanggungjawaban publik, mekanisme pemilihan komisioner yang independen, serta memantapkan posisi Komnas Perempuan sebagai lembaga nasional HAM.
Dalam 15 tahun, jumlah korban yang melaporkan kasusnya terus meningkat. Dari Catatan Tahunan, yang merupakan kompilasi data nasional kasus yang ditangani lembaga layanan, jumlah ini bertambah lebih 3.169 tahun 2000 menjadi 216.156 kasus pada tahun 2012 atau hampir 70 kali lipat. Keberanian korban untuk melaporkan patut dihargai, sebab seluruh catatan ini masih merupakan puncak gunung es dari persoalan KtP.
Bagi Komnas Perempuan, memastikan suara korban hadir dalam pembentukan kebijakan dan penanganan kasus berpadu dengan data, analisa akar masalah dan dampaknya adalah pendekatan utamanya. Suara korban yang dimaksud adalah pengalamannya akan kekerasan, dalam mengakses keadilan maupun berjuang untuk pulih.
Suara itu hadir di dalam laporan pemantauan dan forum-forum advokasi dengan otoritas pemerintahan, masyarakat juga mekanisme HAM lainnya di tingkat lokal, nasional dan internasional. Selain CATAHU pengalaman korban juga dapat ditemukan dalam berbagai laporan pemantauan Komnas Perempuan dan hasil kajian strategis, yang telah terpublikasi bagi umum. Lebih 187 terbitan Komnas Perempuan menunjukkan kompleksitas persoalan dan dampak dari KtP untuk membangun arah intervensi yang lebih baik.
Dalam 15 tahun bekerja, Komnas Perempuan bersama komunitas korban, mitra kerja baik di jajaran pemerintahan, aparat penegak hukum maupun masyarakat sipil, telah menghasilkan sejumlah payung hukum penting untuk perlindungan perempuan, termasuk Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (2004), Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (2006), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (2007), Undang-Undang Penanggulangan Bencana (2007), Undang-Undang Kesehatan (2009), Peraturan Mahkamah Agung tentang pembatalan batas waktu 180 hari untuk Judicial Review (2011), Undang-Undang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Disabilitas (2011), Undang-Undang Pengesahan Konvensi Migran 1990 (2012).
Berbagai aturan turunannya pun telah disusun, misalnya Standar Layanan Minimum, Penganggaran Berperspektif Gender, dan juga lebih 400 buah kebijakan daerah untuk penanganan korban. Tentunya, implementasi kebijakan ini perlu dikawal lebih lanjut.
Kini, juga telah ada 305 Unit Penanganan Perempuan dan Anak di Kepolisian; 113 pusat layanan terpadu di bawah koordinasi KPPA, 63 unit penanganan krisis di rumah sakit. Di masyarakat, lebih 200 organisasi perempuan, dimana lebih 40 diantaranya menyediakan layanan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan. Keberadaan lembaga layanan ini sangat penting. Dukungan SDM, infrastruktur, dana pendampingan dan komitmen politik penuntasan kasus masih menjadi tantangan utama menghadirkan layanan berkualitas bagi perempuan korban kekerasan.
Upaya perjuangan hak-hak perempuan korban kekerasan juga disambut positif oleh masyarakat. Semakin banyak pekerja seni, kelompok kreatif, pengusaha, jurnalis dan pekerja media yang mendukung kampanye penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Kuatnya kecaman penyikapan publik pada pejabat publik yang menyalahkan korban, bertambahnya dukungan bagi perempuan untuk pulih adalah beberapa indikasi kemajuan ini. Kini, mitra Komnas Perempuan telah mencapai lebih 1700 lembaga dari latar belakang pemerintahan, komunitas korban, dan lembaga masyarakat dan lembaga pendidikan dalam berbagai kerjasama.
Pembelajaran bekerjasama dengan pemerintah dan jaringan masyarakat sipil, pengetahuan yang bertambah tentang kompleksitas isu Kekerasan terhadap Perempuan, keterampilan yang makin terasah dalam advokasi kebijakan dan pendampingan korban, serta keberadaan lembaga nasional Komnas Perempuan adalah modal bagi perjuangan ke depan untuk penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
"Langkah-langkah perjuangan ini akan didiskusikan hari ini dan dituangkan dalam usulan untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 untuk mendukung upaya pemerintah menciptakan masyarakat yang adil dan beradab," tandas Yuniyanti.
© Copyright 2024, All Rights Reserved