Hanky Gunawan (37) alias Hanky, bos pabrik ekstasi di Jalan Golf, kompleks Graha Family blok M-35, Surabaya, Selasa (17/4), divonis 15 tahun penjara. Selain itu, majelis hakim yang diketuhai I Made Tjakra SH dalam pembacaan putusannya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan denda Rp500 juta. Sebelumnya Hanky dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Warga Jalan Kombes M. Duriyat tersebut terbukti bersalah karena memproduksi atau menggunakan psikotropika golongan I dan mengedarkan ekstasi. Lajang yang pernah kuliah di Amerika itu juga dianggap bersalah dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering). Menanggapi vonis dari majelis hakim itu, JPU dan penasehat hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir untuk menyampaikan tanggapannya dalam waktu tujuh hari.
Majelis hakim, dalam putusannya menilai, hanya dakwaan pertama dari lima dakwaan yang dituduhkan JPU tidak terpenuhi, karena unsur memproduksi dan/atau menggunakan (psikotropika) dalam proses produksi secara terorganisir itu tidak terbukti.
"Karena terorganisir yang disebutkan dalam dakwaan pertama sesuai pasal 59 ayat (1) huruf b juncto pasal 59 (ayat 2) UU RI 5/1997 tentang Psikotropika juncto pasal 55 (ayat 1 ke-1) KUHP juncto pasal 64 KUHP itu bukan tertata atau teratur seperti halnya sebuah pabrik," kata I Made Tjakra.
Menurut majelis hakim, upaya memproduksi yang dilakukan terdakwa tidak tertata dan teratur (bukan pabrik), karena tidak ada benda atau mesin yang tak bergerak.
"Yang dilakukan terdakwa hanya manual bersama terdakwa Suwarno (divonis enam tahun) dan Lingsodirejo (buron), bahkan apa yang dilakukan terdakwa juga tidak ada jaringan dengan bandar ekstasi di Jakarta, sebab bandar Jakarta yang disebut-sebut JPU juga tidak mengenal terdakwa," ungkap I Made lebih jauh.
Namun, kata majelis hakim, empat dakwaan lainnya yang dituduhkan JPU dapat terpenuhi yakni dakwaan kedua (pasal 59 ayat 1 huruf b UU 5/1997 tentang psikotropika jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP), dakwaan ketiga (pasal 59 ayat 1 huruf b jo 69 UU 5/1997 tentang psikotropika jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP).
Selain itu, dakwaan keempat (pasal 59 ayat 1 huruf c UU 5/1997 tentang psikotropika jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP), dan dakwaan kelima (pasal 6 ayat 1 sub b UU 15/2002 tentang money laundring atau pencucian uang yang diubah dengan UU 25/2003).
"Dakwaan kedua terpenuhi, karena terdakwa terbukti memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi itu tidak melakukan sendirian," ucap majelis hakim.
Untuk dakwaan ketiga, kata majelis hakim, tidak perlu dipertimbangkan lagi, karena dakwaan kedua sudah terpenuhi, sedangkan dakwaan keempat juga terpenuhi, karena terdakwa memproduksi melalui kerjasama dengan Lingsodirejo (rekan terdakwa/buron) dan Suwarno (pembantu terdakwa).
"Dakwaan terakhir terkait {money laundring} juga terbukti karena ada proses transfer yang dilakukan terdakwa dan juga ada sejumlah barang bukti berupa rumah dan mobil yang patut diduga telah diperoleh dari hasil tindak pidana terdakwa," kata majelis hakim.
Dalam putusan itu, majelis hakim menilai hal yang meringankan terdakwa hanya dua yakni sopan dalam persidangan dan terdakwa masih muda sehingga masih dapat memperbaiki diri untuk masa depannya.
"Tapi, hal yang memberatkan terdakwa adalah memungkiri dakwaan atau tak mengakui perbuatannya, perbuatannya tercela dan merusak generasi muda, musuh negara dan masyarakat, serta pernah dihukum (dihukum di Belanda dalam kasus ekstasi)," tegas majelis hakim.
Seperti diketahui, Hanky dibekuk Mabes Polri setelah Mabes Polri menangkap Awe di Jl Taman Anggrek Jakarta pada 27 April 2006 dengan 39.000 butir ekstasi. Awe mengaku, dipasok Hanky yang beralamat di Jalan Kombes M Duriyat 4 Surabaya melalui Suwarno (warga Lengkong, Nganjuk, Jatim). Kemudian polisi menelusuri dan akhirnya diketahui asal barang haram itu dari rumah prokdusi di Graha Family blok M-35, Surabaya. Bisnis itu dijalankan Hanky bersama Lingsodirejo (warga Villa Valencia B-7/28 Surabaya) dan Brian (ahli kimia asal Inggris yang hingga kini masih buron).
[Cara Memproduksi]
Ketua majelis hakim I Made Tjakra menyatakan, produksi ekstasi itu diawali dengan memesan berbagai peralatan yang dibutuhkan ke bengkel Subekti Suharto. Barang yang dipesan, antara lain, water distiller, pipa condensate, dan jeriken stainless steel. Itu dilakukan pada 1999 dan 2000. "Barang-barang tersebut lantas digunakan untuk memproses bahan kimia yang hasilnya berupa pil ekstasi," kata Tjakra.
Proses produksinya terjadi pada akhir Februari-Maret 2006 sebanyak empat kali berturut-turut. Hangky bersama Lingso Direjo (buron) dan Suwarno (terdakwa di berkas terpisah) mendatangi rumah di Jalan Golf Family Barat Blok M. 35, Surabaya. Cara memproduksinya adalah menuangkan cairan bahan kimia ke tabung pemanas listrik yang tersambung ke tabung penyulingan ({water distiller}).
Setelah mendidih, bahan itu didiamkan beberapa saat dan selanjutnya dialirkan ke ember stainless steel untuk didinginkan. Hasil proses kimiawi tersebut lantas dicampur acetone dengan cara diaduk. Formula tersebut disuling lagi hingga meninggalkan bekas seperti lumpur berwarna kuning. "Adonan itulah yang dicetak menjadi ekstasi," jelas Tjakra.
Setelah menjadi ekstasi, Hangky menyuruh Suwarno membawa barang haram itu ke Jakarta. Hangky menjual pil setan itu kepada Liem Marita dan Christian Salim alias Awe. Transaksi pertama 24 ribu butir, kedua seribu butir, ketiga 24 ribu butir, dan keempat 39 ribu butir.
Pembayaran transaksi tersebut dilakukan dengan cara mentransfer dari rekening Joy Kusuma (orang suruhan Liem dan Awe) ke rekening terdakwa. Itu dibuktikan dengan adanya pembayaran pada 20 Januari 2006 sebesar Rp 500 juta.
Tidak hanya itu, pada hari yang sama, Joy Kusuma mentransfer uang Rp 110 juta. Padahal, Hangky tidak memiliki pekerjaan yang mampu menghasilkan uang sebanyak itu dalam sekejap. "Bahkan, perusahaan yang dimilikinya tidak beroperasi sejak 2005 hingga sekarang," lanjutnya. Uang yang masuk ke rekeningnya dibagikan kepada Lingso Direjo (Rp 50 juta) dan Suwarno (Rp 7,5 juta).
© Copyright 2024, All Rights Reserved