Sebanyak 60 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) masih menunggak kewajiban membayar dana reboisasi sebesar Rp1,1 triliun. Sementara 28 perusahaan HTI telah melunasi utang dana reboisasi sebesar Rp904 miliar.
Data tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto di Jakarta, Minggu (09/01).
Hadi menjelaskan, sampai kini sudah 30 perusahaan HTI yang melunasi dana reboisasi yang masuk kategori macet. Dana reboisasi yang digelontorkan sejak 1994 seluruhnya mencapai Rp2 triliun.
Lebih lanjut Hadi menambahkan, sebanyak 90 perusahaan HTI kesulitan keuangan. Kondisi ini terjadi karena Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1997 meminta pemerintah Indonesia menghentikan penyaluran pinjaman kepada perusahaan sektor kehutanan tersebut.
"Akibatnya, perusahaan mengalami kesulitan untuk meneruskan penanaman dan merawat tanamannya," kata Hadi.
Selain itu, perusahaan sektor kehutanan juga pernah menghadapi bencana kemarau El Nino dan kebakaran hutan pada 1998 dan 2006. Penghentian penyaluran dana DR di tengah jalan dan dua bencana itu mengakibatkan perusahaan sektor kehutanan mengalami kesulitan likuiditas untuk melunasi kewajiban utangnya.
Namun demikian, ujar Hadi, Kemenhut telah menjatuhkan sanksi pencabutan izin usaha terhadap sejumlah perusahaan yang dinilai lalai mengembalikan pinjamannya. "Ada yang dicabut izinnya, dilikuidasi perusahaannya, dan direkstrukturisasi utangnya agar perusahaan itu mampu melunasi pinjamannya."
Hadi menjelaskan, ada tiga cara yang ditempuh kementerian untuk menyelesaikan tunggakan kredit macet perusahaan sektor kehutanan tersebut.
Langkah pertama dilakukan dengan kebijakan divestasi terhadap perusahaan yang dinilai lalai melaksanakan kewajiban melunasi utangnya. Langkah kedua, perusahaan yang dinilai tidak mampu melakukan pembayaran ditawarkan kepada investor lain.
Kemudian, khusus untuk perusahaan yang dinilai masih beritikad baik melakukan pembayaran, tetapi kesulitan menjual kayunya, maka diterbitkan Rencana Karya Tahunan (RKT)-nya agar memudahkan melakukan pemanenan.
Di sisi lain, kata Hadi, industri yang menguasai pasar kayu menetapkan harga yang kelewat rendah. Bahkan sejak 2004 industri pulp dan kertas hanya mematok harga sebesar Rp200.000 per meter kubik. “Harga serendah itu jelas merugikan perusahaan sektor kehutanan yang tergolong menengah dan kecil," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved