Kecenderungan pelecehan eksekutif selevel menteri terhadap putusan pengadilan alias yudikatif. Kasus pengadilan penyelundupan pasir laut di perairan Riau memunculkan masalah baru. Setidak begitu jika dilihat dari kacamata hukum. Entah dimana {missleading}-nya, namun rekomendasi TP4L ternyata salah diimplementasikan oleh kejaksaan. Fatalnya, tuntutan untuk menjerat para penyelundup pasir tersebut hanya tergolong ”kelas ringan”. Kondisi tersebut diperparah oleh berbagai komentar yang tidak proporsional dari Menteri Kelautan dan Perikanan Rohmin Dahuri. Alhasil, kasus ini kian rumit malah menyisakan masalah baru. Pelecehan eksekutif terhadap yudikatif. Bagi kalangan praktisi hukum, berbagai statemen Rohmin dinilai merusak citra lembaga Yudikatif. Pasalnya, selaku pejabat tinggi yang “melek” hukum, Rohmin telah kebablasan dalam memberi komentar. Berikut cukilan wawancara Alexius Tantradjaya, praktisi hukum, dengan PILARbisnis dan Politikindonesia.com.
{Kasus pasir laut telah diputuskan dengan hukuman maksimal menurut persepsi hakim, namun pihak eksekutif terlihat kurang puas lantas menilai putusan pengadilan. Sebagai praktisi hukum, bagaimana komentar anda melihat fenomena seperti ini?}
Ya. Kalau kita mau bicara kasus penyelundupan pasir laut yang terjadi di Riau. Itukan sudah ada putusan pengadilan yang dinilai oleh eksekutif bahwa penjatuhan hukumannya terlalu ringan dan tidak memadai dengan perbuatan hukumnya. Nah kalau kita kembali lagi pada komitmen negara kita bahwa kita adalah negara berdasarkan hukum, dimana kekuasaan kehakiman itu ada pada Mahkamah Agung. Jadi yudikatif terus kebawah yaitu pengadilan. Memang terhadap satu tindak pidana yang terjadi dalam wilayah Indonesia, ya tentunya diberlakukanlah hukum-hukum yang mengatur yang melarang tindak pidana itu dilakukan. Nah pengadilan dalam hal ini, selaku pihak yang diberikan kewenangan untuk memberikan keputusan dan pemeriksaan dalam tindak pidana pencurian pasir laut, nah itu tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya peran dari polisi selaku penyidik dan jaksa selaku penuntut umum. Nah dalam satu perkara pidana, itu peran penyidik sangat penting sekali dimana si penyidik akan mencari hukum-hukumnya yang melarang perbuatan itu dilakukan. Nah dalam hal ini penyidik lah yang membuat berita acara dan yang menyodorkan hukum-hukum yang melarang perbuatan itu dilakukan. Kemudian diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dan JPU itu yang mengajukan ke pengadilan untuk melakukan tuntutan hukum. Nah pengadilan dalam hal ini hanya memeriksa apa yang diajukan oleh JPU, baik itu pasal-pasal UU yang dianggap paling cocok yang mengatur masalah yang dilarang tadi, yaitu pencurian pasir laut. Dengan demikian apabila pengadilan sudah memutuskan satu perkara, itu sudah harus dipatuhi oleh seluruh pihak. Apabila salah satu pihak, baik jaksa maupun terdakwanya sendiri merasa berkeberatan terhadap putusan itu, ya dia hanya bisa melakukan upaya hukum, banding dan seterusnya kasasi. Nah dengan demikian dilarang badan-badan diluar yudikatif untuk melakukan intervensi. Itu sudah jelas disebut dalam UU, bahwa kekuasaan kehakiman hanya berada di Mahkamah Agung. Dengan begitu, apabila ada pejabat eksekutif yang tidak mau menerima putusan pengadilan, berarti dia sudah keluar dari komitmen bahwa negara kita adalah negara hukum. Kalau misalnya dia memang merasa bahwa hukum yang ada, hukum yang berlaku terlalu ringan terhadap satu kejahatan yang dilakukan, tidak sepadan dengan kerugian dan hukuman, maka upaya dia memperbaiki hukum itu, bukan menyatakan protes. Bukan menyatakan tidak mau menerima. Tidak mau menerima ya silahkan melalui kejaksaan untuk menyatakan banding. Namun demikian sesuai dengan azas hukum pidana, bahwa pidana yang di jatuhkan tidak boleh melebihi dari ancaman hukuman yang sudah ditetapkan berdasarkan UU. Kecuali, ada pengecualiannya, penambahan 1/3 terhadap residiv atau terhadap mereka-mereka yang dapat dikualifisir sebagai perbuatan pemberatan. Nah itu saja, itu teori hukum pidananya. Jadi tidak boleh melebihi. Bisa melebihi, ada pengecualian kalau itu dilakukan oleh residiv, yang dianggap residiv atau pemberatan. Pemberatan itu misalnya yang diberi kewenangan, dia yang melakukan pelanggaran. Nah itu bisa dengan pemberatan.
{Tapi TP4L ini melihat ada kecenderungan jaksa sengaja diperlemah dakwaan, artinya ada permainan jaksa, sehingga dia berani mengeluarkan statemen yang cenderung seperti intervensi. Tapi dengan pernyataan tersebut apakah tindakan menteri tersebut sudah masuk kategori intervensi terhadap yudikatif?}
Sudah intervensi. Itu yang tidak boleh dia lakukan.
{Tapikan sangat jelas terlihat jaksa ikut bermain, terbukti dengan lemahnya dakwaan?}
Kalau jaksa bermain disitu, kan jaksa masih masuk dalam garis eksekutif. Artinya kalau dia melihat jaksa kurang maksimal dia bisa melalui jaksa agung untuk memberikan sanksi dan menindak kalau memang benar jaksa itu menyimpang.
Nah pengadilan nggak boleh. Jadi suatu keputusan hakim tidak boleh dinilai oleh siapapun juga atau pihak manapun juga. Yang bisa menilai, sesuai prosedur hukum adalah pengadilan tinggi. Dimana kalau ada yang mengajukan keberatan melalui banding.
{Walau ada unsur suka atau tidak suka terhadap hasil putusan pengadilan?}
Ya. Suka tidak suka harus terima sesuai dengan komitmen bahwa negara kita adalah negara hukum
{Taruhlah kasus dengan satu dakwaan selesai, tapi muncul dakwaan lain, dan sebelum putusan dieksekusi bisa nggak eksekusi tersebut dipostpone sambil menunggu dakwaan lain?}
Begini, justru seharusnya yang dilakukan oleh pihak yang tidak puas, yaitu dalam hal ini eksekutif, mereka bisa menjerat lagi terhadap pelanggaran lain yang belum dijeratkan terhadap perbuatan pencurian pasir itu, itu bisa dilakukan. Cuma sepanjang mengenai pencurian pasir itu, itu tidak bisa dilakukan tuntutan kembali terhadap satu perkara yang sama, nebis in idem, jadi itu tidak boleh satu perbuatan dihukum dua kali. Jadi pihak penyidik harus jeli, dia melihat perbuatan-perbuatan mana yang dalam lingkup tuntutan pidananya itu belum dilakukan, pada saat dia mengajukan si tersangka ini. Mungkin saya ambil contoh misalnya yang dihukum masalah pencurian pasir laut. Kemudian bisa dicari pelanggaran lain seperti pelanggaran wilayah, pelanggaran kepabeanan, ijin penggunaan kapalnya, pelanggaran imigrasi, ijin kegiatan berusaha di Indonesia, itu kan banyak jeratan hukum yang bisa dikenakan. Nah dalam hal ini putusan tetap putusan, sudah jatuh dan putusan itu tetap harus diterima suka atau tidak suka. Karena memang hukumnya bahwa keadilan itu abstrak. Mungkin bagi eksekutif putusan itu dirasakan tidak adil. Namun bagi si terdakwa itu sudah adil, jadi sangat tergantung dari pihak mana yang melihat keadilan. Bagi eksekutif, apabila kejahatan ini sudah mulai menjadi perhatian, karena selama ini mungkin kasusnya tidak banyak dan kemudian akibat yang ditimbulkan belum terpikirkan, mungkin sekarang baru terpikirkan karena merusak lingkungan. Mungkin si eksekutif sudah saatnya untuk merevisi UU pelayaran yang berkaitan dengan kekayaan alam. Jadi dikuatirkan apakah pencurian pasir laut itu dapat dijerat cukup hanya dengan menggunakan KUHP, nah ini, yang mungkin mengalami kesulitan dibuatlah suatu UU khusus yang berkaitan dengan kelautan. Disitu segala tindak pidana pencurian, pemusnahan disitu bisa diatur. Dan pemberatan hukuman pidananya bisa diatur di dalam UU itu. Sebab sekarang yang berlaku kalau ternyata hukumannya ringan ya mau diapakan lagi. Itukan sudah sesuai aturan.
{Tapi kan kalau putusannya belum final nggak masalah?}
Kalau putusannya belum {inkrach} ya sebaiknya jangan dikomentarin. Karena itukan masih ada penilaian dari PT, hakim tinggi yang nanti akan memberi penilaian. Apakah perbuatan itu terbukti, kalau terbukti apakah hukuman yang patut dijatuhkan dan diterima oleh si terdakwa. Nah itu bisa dipertimbangkan. Tapi kalau ancaman hukumannya itu memang ringan menurut kacamata eksekutif ya tentu UUnya harus direvisi.
{Ada indikasi bahwa jaksa dan hakim bermain dalam memberi tuntutan dan menjatuhkan vonis, apakah itu bisa dijadikan alasan untuk menganulir vonis itu sehingga batal demi hukum?}
Tidak. Vonis tetap vonis. Kecuali terjadi pelanggaran mengenai penerapan hukumnya. Disitu nanti hakim tadi, misalnya didalam fakta terbukti adanya tindak pidana pencurian, yang kemudian oleh PN pada waktu berbeda penafsiran bahwa perbuatan itu bisa saja tidak terbukti karena perbedaan persepsi tadi. Nah itu bisa saja hakim tinggi menilai, ternyata ini menurut pendapat PT bahwa dari fakta yuridis yang terungkap di persidangan, berdasarkan berita acara yang dibuat ataupun kalau PT masih menganggap perlu untuk melakukan pemeriksaan ulang, nah dia bisa membuka sidang karena dia masih yudefaksi dalam pengertian, bahwa hakim PN maupun PT itu memang harus menggali fakta. Berbeda dengan kasasi, kalau kasasi itu kekeliruan penerapan hukum. Jadi itu tidak akan berbicara masalah fakta persidangan, tapi pure kesalahan yuridis artinya salah menerapkan pasal, salah menafsirkan pasal, soal fakta itu masih PT. Jadi kalau PT itu kalau melihat bahwa perkara ini sudah menjadi perhatian masyarakat, ya tentu PT harus menyediakan ekstra waktu untuk meneliti betul-betul perkara ini dan bisa melakukan pemeriksaan tambahan.
{Tapikan masalahnya PN itu sudah berubah menjadi semacam stempel yang meloloskan pelaku penyelundupan pasir laut?}
Nggak, tanpa berpraduga pada kinerja pengadilan, karena pengadilan lah yang sudah kita sepakati untuk menyelesaikan suatu masalah, ya putusannya harus kita hargai dan kita terima. Nah kalau ada ketidakpuasan terhadap penjatuhan pidana pelaku pencurian pasir laut, nah dia tinggal meminta kepada Jaksa Agung agar jaksa yang bersangkutan mengajukan banding untuk diuji kembali putusna yang diduga ”adanya permainan” itu.
{Kalau jaksanya diganti bisa?}
Bisa saja, itukan kewenangan jaksa agung. Nah cuma putusan itu mau nggak mau harus diterima, harus dihormati lah, kalau tidak puas banding. Nah dibanding itu nanti diuji putusan itu. Dan kalau memang masih belum puas kasasi saja. Selama yang dijatuhkan di PN itu sudah memadai dengan ancaman maksimal, saya rasa sudah ngga bisa melebihi dari itu. Kalau memang di PN sudah maksimal, itu sudah merupakan ketentuan hukum, jadi baik dibanding maupun kasasi tetap nggak akan tambah. Karena azasnya begitu. Azas hukum pidana bahwa penjatuhan pidana tidak akan melebih dari ancaman yang sudah ditentukan dalam ketentuan UU. Itu sudah harga mati.
{Kendati keputusan PN belum dieksekusi, pemerintah masih berhak menahan kapal tersebut?}
Oh tidak, putusan pengadilan itu harus dilihat juga amar putusannya. Jadi sepanjang amar putusan hakim itu memerintahkan agar kapal tersebut dilepas, ya harus dipatuhi, begitu juga sebaliknya.
{Bukannya secara otomatis ketika dendanya disepakati kapalnya lepas?}
Oh nggak. Kan ada yang namanya tahapan eksekusi, jadi harus dilakukan eksekusi, cuma begini, pelaksanaan terhadap suatu amar putusan, itu baru dapat dieksekusi bilamana keputusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap dan pasti. Jadi selama belum berkekuatan hukum tetap dan pasti, dan tidak ada perintah untuk melakukan eksekusi didalam amar putusan itu. Itu tidak bisa dilaksanakan.
{Jadi kapal masih bisa ditahan?}
Kalau perkaranya masih belum memiliki keputusan yang berkekuatan hukum tetap. Jadi eksekusi belum bisa dilaksanakan. Dalam hal ini misalnya ada penyitaan kapal ya tidak boleh dilepaskan. Bagaimana nanti kalau itu ada putusan dari PT atau MA yang memerintahkan merampas barang yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan, bagaimana? Karena ada kewenangan daripada pengadilan untuk menentukan barang bukti. Apakah barang bukti dikembalikan kepada yang berhak, ataukah barang bukti itu dinyatakan dimusnahkan ataukan barang bukti itu dinyatakan dirampas untuk negara. Jadi itu kewenangan hakim untuk menentukan itu. Berdasarkan bukti-bukti dia bisa menentukan, kalau itu dianggap sebagai barang yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Bisa dimusnahkan atau dirampas.
{Walaupun dia sudah bayar denda?}
Oh nggak. Bayar denda kan salah satu bentuk hukuman, tetapi bukan berarti putusan hanya berisi itu, tidak. Biasanya ada istilahnya hukuman tambahan yaitu penentuan barang bukti itu. Jadi selain diputuskan pemidanaan terhadap perbuatan, juga ditentukan mengenai status dari barang sita.
{Kalau misalnya dilakukan banding, pemerintah menyatakan akan mengawasi kasus ini secara ketat. Sehingga pengadilan juga nggak berani macam-macam, apakah langkah ini bisa dikategorikan sebagai intervensi terhadap pengadilan?}
Ya. Karena yang punya kewenangan untuk mengawasi hanya MA sebagai atasan dari pengadilan. Jadi tidak boleh eksekutif melakukan pengawasan, bahkan menteri kehakiman pun tidak punya kewenangan. Jadi yang punya kewenangan terhadap pengawasan pengadilan ya Mahkamah Agung. Kalau PT mahkamah Agung kalau PN sebagai kawal depan adalah PT, kalau PT langsung MA.
{Tapi seorang hakim kan juga pegawai negeri di departemen kehakiman, artinya kan eksekutif punya potensi mengintervensi yudikatif?}
Tidak. Sekarang kan sudah penyatuan atap bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan pengadilan sekarang ada dibawah MA. Nah cuma sekarang masih dalam sosialisasi, jadi peran dari departemen masih ada, cuma akan menyatu sesuai dengan UU.
{Salah satu barang bukti kasus ini adalah pasir yang berada di Singapura, bagaimana mungkin itu bisa menjadi bukti bagi proses pengadilan?}
Memang betul barang buktinya ada di Singapura dan ada kesulitan dalam hal, ada ketentuan-ketentuan yang membatasi kewenangan dari yurisdiksi penyidik dalam hal ini polisi. Pada pertama kali melakukan penyelidikan ataupun penyidikan, itu bisa saja barang bukti itu pasirnya. Tapi bisa saja tidak perlu juga pasirnya, bisa juga saksinya. Jadi tidak berarti kalau barang bukti yang menjadi obyek pidananya itu tidak ada lantas menjadikan hapus tindak pidananya, ya tidak. Misal sekarang pencurian, pencurian dilakukan, kemudian hasil pencurian dihilangkan oleh pelaku dalam arti bisa saja dijual sehingga sulit barang bukti itu dihadirkan, sehingga apa penggantinya, adalah saksi-saksi itu. Tapi dalam KUHAP itu mengenai barang bukti, itukan ada saksi, bukti tertulis, pengakuan, petunjuk, nah jadi nggak harus pasirnya, cukup saksi-saksi.
{Ada dugaan bahwa kejaksaan dan pengadilan sudah terkontaminasi. Apakah bisa persidangan dipindahkan ke tempat lain yang dianggap “bersih”? dan jaksanya bukan kejaksaan negeri ditempat kasus tersebut terjadi?}
Begini. Dalam hal tertentu, atas seijin ketua MA, bisa dilakukan suatu persidangan diluar dari yuridiksi dimana tindak pidana itu dialkukan kalau ada cukup alasan bahwa kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apabila persidangan tersebut dilakukan diwilayah kejahatan itu terjadi. Satu contoh dalam situasi seperti Ambon, terjaid konflik di Ambon, nah persidangan bisa dipindahkan. Jafar Umar Thalib disidangkan di Jakarta Timur. Atau kasus Eurico Guterrez yang disidangkan di Jakarta Utara. Ndak masalah. Tapi itu atas seijin ketua MA. Nah kasus di Riau ini tentu akan sangat sulit jika dipindahkan karena bukan situasi dan kondisi yang timbul daerah itu yang tidak memungkinkan untuk dilakukan persidangan disana. Karena ini hanya diduga oknum-oknum, bukan wilayah itu yang menjadikan tidak dimungkinkan dilakukan itu. Jadi kalau misalnya memang benar ada dugaan seperti itu, ya masing-masing pihak selaku atasan, pengawas, itu melakukan pemeriksaan kalau memang ada dugaan seperti itu. Kalau pengadilan yang melakukan penyimpangan ya tentu MA yang mengambil tindakan, demikian juga kalau penyimpangan di kejaksaan, ya jaksa agung yang mengambil tindakan.
{Tapi apakah masih memungkinkan putusan itu diubah?}
Putusan itu dapat diubah oleh pengadilan tinggi apabila ada banding. Bila hakim di pengadilan tinggi menilai bahwa terjadi kekeliruan.
{Jadi sebaiknya memang eksekutif jangan hanya banyak bicara tapi melakukan aksi?}
Ya, sebaiknya memang menteri kelautan dan perikanan itu melakukan pembicaraan dengan jaksa agung agar dilakukan banding terhadap putusan PN daripada melakukan suatu sikap yang menentang dan tidak menyetujui putusan PN. Karena hal ini jelas akan semakin memperkeruh citra peradilan.
{Tapi sebagai pejabat tinggi yang dimintai komentarnya, bukankah cukup wajar jika dia mengeluarkan suatu pernyataan?}
Komentar dengan apapun tidak akan mempengaruhi putusan itu. Upaya hukum, yang harus dia lakukan. Dia memang punya kepentingan dalam hal menyangkut wilayah pekerjaan dia selaku menteri kelautan, tapi caranya dia harus minta kepada jaksa agung untuk melakukan perintah kepada kejaksaan dibawahnya untuk mengajukan banding karena dinilai putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan dari si menteri. Karena dinilai perbuatan kejahatan itu tidak sebanding dengan pidana yang diterima, itu boleh-boleh saja, tapi harus dilakukan melalui prosedur yang benar, ya banding itu. Jadi sebetulnya nggak perlu emosi, nggak perlu panik, kalau memang UUnya tidak memenuhi perkembangan jaman ya diperbaiki UUnya, direvisi. Sama seperti yang dilakukan kita terhadap UU korupsi karena perkembangan jaman menuntut itu. Karena kejahatan sekarang inikan semakin canggih maka UUnya juga harus maju lebih kedepan untuk mengantisipasi itu. Seperti itu saja cara berpikir kita.
© Copyright 2024, All Rights Reserved