Ditengah upaya elemen anak bangsa menegakkan sikap nasionalisme pada ladang Minyak dan Gas di Bumi Pertiwi -- seluruh ladang Migas yang dalam waktu dekat habis kontraknya dengan pihak asing tidak diperpanjang dan pengelolaannya kembali ke perusahaan Migas nasional -- ada kabar yang tak sedap yang menyeruak ke ruang publik.
Adalah tentang PT Pertamina (Persero) yang bisa terancam bangkrut karena salah mengambil kebijakan dalam melakukan ekspansi bisnis. Semoga, jika benar, bukan akibat adanya tindak pidana korupsi.
Pada 18 Desember 2012 yang lalu, Pertamina melakukan ekspansi bisnis dengan meng-akuisisi saham ConocoPhillips Algeria Ltd, yang menguasai Blok 405a di Aljazair. Nilainya tidak tanggung-tanggung, sebesar US$1,75 miliar atau setara lebih kurang Rp16,8 triliun dan ternyata, tidak berbuah manis.
“Mega akuisisi ini dapat menambah produksi Pertamina secara signifikan dalam waktu cepat dan dengan minyak mentah berkualitas tinggi, yaitu sebesar 23.000 barel per hari. Ini merupakan tonggak penting bagi pengembangan ekspansi bisnis hulu Pertamina," kata Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan kepada wartawan, Selasa (18/12/2012).
Karen mengatakan, produksi minyak Pertamina saat ini dari 23.000 barel akan menjadi sekitar 35.000 barel per hari pada 2013 setelah ladang minyak EMK mulai produksi pada 2013. Menurut dia, Pertamina berharap dapat bekerja sama erat dengan Sonatrach, perusahaan NOC Aljazair dan perusahaan mitra di Blok 405a untuk memaksimalkan produksi minyak dari blok tersebut.
Nah, blok yang semula dikatakan mampu memberi tambahan produksi minyak bagi Pertamina sebesar 23.000 bph, ternyata dikabarkan hanya mengucurkan minyak mentah sekitar 8.000 bph per hari.
Soal adanya kekurangan besaran produksi minyak mentah, informasi yang beredar, konsultan akuisisi yang “bule” ini, menyarankan agar ditepis dengan alasan bahwa pemerintah Aljazair membuat kebijakan untuk membatasi produksi pada ladang Migas.
Itu soal jumlah produksi yang terjun bebas. Lantas, yang membuat ancaman semakin menyesakkan dada, adalah kabar bahwa transaksi pelunasannya alias closing yang jatuh tempo 7 Juni 2013 lalu dan belum dibayar oleh Pertamina.
Asal tau saja, jika Pertamina mangkir dari perjanjian, ada potensi denda sebesar bunga Libor (London interbank offered rate) plus 2 persen per hari, jika Pertamina melakukan keterlambatan. Dan persoalannya akan berlanjut ke Badan Arbitrase International. Fantastis!
Menurut Reuteurs (18/12/12), net carrying value assets dari Conocophillips Algeria Ltd diakhir Oktober 2012 hanya sekitar US$850 juta. Sementara jumlah produksi yang dilaporkan, tak sebesar yang disebut Pertamina, hanya berkisar 11.000 bph.
Jika dihitung-hitung, ada selisih sekitar US$150,75 juta dolar dan itu uang menguap yang menjadi potensi kerugian bagi Pertamina.
Ketika penandatanganan akuisisi pada 18 Desember lalu, Pertamina dikabarkan membayarkan down payment sebesar 10 persen dari nilai akuisisi, sebesar US$175 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.
Seperti diketahui, Conocophillips Algeria Ltd menguasai 3 lapangan; yaitu Menzel Lejmat North, Ourhoud, dan EMK. Di lapangan Menzel Lejmat North, ConocoPhillips Algeria Ltd menguasai 65 persen hak partisipasi (participating interest/PI) dan sekaligus bertindak selaku operator. Sementara di lapangan Ourhoud hanya 3,7 persen dan sebesar 16,9 persen di EMK, namun tanpa hak operator.
Soal polemik akuisisi ConocoPhillips Algeria Ltd ini, belum ada pejabat Pertamina yang memberikan penjelasan secara transparan. Vice President Corp Coom PT. Pertamina (Persero), Ali Mundakir mengaku belum mendengar soal kelanjutan akuisisi terebut. “Belum dengar aku. Masih proses berarti. Kalau masih belum disampaikan ke saya berarti masih proses. Tunggu aja versi resminya,” katanya, kepada pers, (09/07).
Kita tentu berharap, masalah akuisisi ini tidak menjadi preseden buruk bagi rencana Pertamina mengembangkan sayap bisnisnya.
Agaknya Pertamina atau siapapun pihak yang terlibat perlu secepatnya dimintai pertanggungjawabannya. Kita berharap, dalam proses akuisisi ladang Migas di Aljazair ini tidak ada pelanggaran atau penyimpangan hukum yang merugikan keuangan negara, seperti korupsi, misalnya.
Yusuf Yazid, Pemerhati Ruang Publik
© Copyright 2024, All Rights Reserved