Sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terkait revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertanyakan sejumlah pengamat. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai terjadi kesesatan pikiran apabila KPK diletakkan seperti lembaga negara yang dikontrol DPR karena KPK lembaga penegakan hukum, bukan lembaga politik.
Sebelumnya, anggota Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, ada 3 prinsip yang harus dimiliki oleh UU KPK. Tiga prinsip itu bisa diwujudkan melalui revisi UU yakni check and balance melalui mekanisme pengawasan, penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM), dan harus menjunjung supremasi hukum.
"Pernyataan PDI-P melalui Hendrawan, adalah pernyataan yang seolah-olah logis dan seolah-olah UU KPK saat ini belum memilikinya. Padahal, 3 prinsip itu sudah dimiliki UU KPK saat ini," kata Fickar, di Jakarta, Kamis (18/02).
Menurut Abdul, sebagai lembaga negara yang independen, KPK harus bebas dari intervensi kekuasaan dalam melaksanakan kewenangannya, baik dari eksekutif, legislatis atau kekuasaan uang. Namun, keberadaan KPK tetap diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara manajerial keuangan.
“Secara politik hukum, diawasi DPR dan Presiden serta oleh praperadilan dan judicial review dan mekanisme gugatan lainnya dalam hal mekanisme hukum,” kata Abdul.
Bahkan, jika pribadi komisioner atau penyidik dan penyelidik terbukti menyalahgunakan wewenangnya alias menyimpang, mereka tetap dapat dipidana.
"Jadi UU KPK telah mengandung sekaligus telah melaksanakan prinsip check and balances. Sesat pikir jika KPK diletakkan seperti lembaga negara yang dikontrol DPR karena KPK lembaga penegakan hukum, bukan lembaga politik," ujar Fickar.
Fickar mengatakan, jika PDI-P tetap memaksakan kehendaknya maka hal itu sama saja dengan mempolitisir KPK melalui lembaga dewan pengawas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved