Empat tahun setelah tumbangnya Orde Baru---dipersonifikasikan dengan turunnya Soeharto dari tahta kepresidenan, yang katanya merupakan era Reformasi, merupakan sebuah era dimana peran dan fungsi TNI/Polri mendapat koreksi secara tajam oleh berbagai lapisan “masyarakat”. Apa yang terjadi kemudian?
Memasuki iklim politik di era Reformasi yang ditandai oleh penggantian Presiden Republik Indonesia sebanyak tiga kali ( Habibie, Abdurrahwan Wahid, Megawati Soekarnoputri), fungsi dan peran TNI/Polri di era Orde Baru kian menemukan muaranya guna memasuki era demokrasi.
Yang paling menonjol dan begitu terasa adalah pemisahan antara TNI dan Polri yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang. Kemudian, secara internal TNI melakukan reformasi struktural dan fungsional. Misalnya, penghapusan Kepala Staf Sosial Politik dan Kepala Staf Teritorial di Markas Besar TNI. Selain itu, TNI juga melakukan penarikan diri dalam fungsi dan peran untuk menduduki jabatan-jabatan politik di daerah Tingkat I dan Tingkat II (Gubernur/Bupati/Walikota).
Khusus dalam fungsi politik, TNI melalui Fraksi TNI/Polri di DPR/DPRD lebih menempatkan diri menjadi katalisator. Bukan lagi menjadi inisiator. Itu sangat terlihat dari penyikapan-penyikapan Fraksi terhadap sesuatu yang bernuansa jabatan politik (Presiden,Gubernur,Bupati dan Walikota). Fraksi TNI/Polri lebih bersifat follower.
Pertanyaannya kemudian, sejauhmana manfaat yang dirasakan bangsa dan negara ini atas penyikapan TNI/Polri yang demikian?
Pertama, yang sangat terasa dalam kehidupan berpolitik adalah terbukanya peluang supremasi sipil. Demokrasi yang berkembang dalam kehidupan politik saat ini lebih merupakan pertarungan antara sekelompok masyarakat melalui LSM, eksekutif dan legislatif yang merupakan pencerminan sekelompok masyarakat melalui partai.
Ditengah pertarungan ketiga unsur ini dalam mengelola negara (Eksekutif,Legislatif,dan LSM), TNI hanya menjadi penonton. Atau bila ingin dikatakan memiliki fungsi dan peranan hanya sebatas pemadam kebakaran. Kenapa? Sebab dalam proses, TNI tidak terlibat, ketika diakhir, TNI ditarik-tarik.
Kedua, dengan sikap TNI yang demikian, masyarakat merasakan betapa susahnya untuk mendapatkan rasa aman bagi diri mereka dan keluarganya. Mengapa demikian? Melalui kebijakan yang dikembangkan pemerintah di era reformasi ini, semakin menciptakan banyaknya pengangguran---penutupan bank, menaikkan suku bunga SBI, iklim usaha tidak kondusif, perlindungan terhadap investor hampir tidak ada, kebijakan pajak yang kian menghimpit rakyat tanpa ada refundnya.
Nah, buah dari kebijakan tersebutlah yang menjadi perangsang timbulnya tindak kriminal di masyarakat. Baik itu berupa kejahatan jalanan, kerah putih, yang kemudian berujung pada hilangnya rasa aman. Sebab Polri yang sudah terpisah dari TNI belum mampu untuk mengcover tugas dan tanggungjawabnya seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Kepolisian.
Ketiga, dengan berjalannya reformasi di dalam tubuh TNI, maka fungsi untuk menjaga keutuhan negara Republik Indonesia, baik itu atas ancaman dari dalam negeri ataupun luar negeri, menjadi prioritas pilihan bagi TNI.
Akibat reformasi ini, TNI harus meningkatkan profesionalisme pasukan dan peralatan yang dimilikinya. Guna memaksimal fungsi pertahanan ini, tentu ajang latihan merupakan aktifitas yang menjadi prioritas kebijakan TNI. Namun, untuk memaksimal hal tersebut, TNI terbentur oleh kemampuan peralatan dan dana yang minim.
Apa yang terjadi kemudian? Ya tentu sosok TNI yang setengah-setengah alias tanggung karena tidak bisa di maksimal untuk mencapai tingkat profesionalisme yang optimal.
Lantas, pertanyaan akhirnya adalah, siapa yang harus dipersalahkan? Sistem pemerintahan? Sistem politik? Pelaku politik? Pejabat negara? TNI, Polri? Atau rakyat yang sudah dalam ambang berpikir untuk mengakhiri kontrak politiknya terhadap negara kesatuan Republik Indonesia?
Nah, bila kita menengok kenyataan diberbagai negara, tampaknya kegagalan itu bersumber dari sikap otoritarianisme kehidupan politik yang dikembangkan oleh komponen bangsa, misalnya Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Komponen ini gagal menyangga mekanisme ekonomi yang berwatak liberal dengan system politik yang demokratis. Mereka melulu hanya berpikir untuk kepentingan kelompok sendiri.
Kondisi yang demikian buruk ini kian bertambah lagi akibat sikap TNI yang melakukan reformasi atas peran dan fungsinya. TNI di era ini tidak bisa lagi menselaraskan antara gerakan ekonomi liberal dengan sistem politik yang demokratis, seperti apa yang terjadi di berbagai negara maju dan sedang berkembang. Mereka sukses membangun daya saing dan daya tahan sistem kehidupan mereka.
Pola penegakan sistem politik otoritarianisme yang melumpuhkan daya saing dan daya tahan ekonomi yang hidup di era Orde Baru itu, kini dijalankan oleh pemerintahan sipil. Tidak lagi di dukung oleh TNI dan Polri karena dua lembaga ini sudah jauh-jauh menarik diri. Akibatnya bukan iklim demokrasi yang kita rasakan, tetapi iklim anarkisme yang terjadi.
Di balik kegagalan itu, pengucilan politik, manipulasi kekuasaan, intrik politik, pembunuhan politik, korupsi politik adalah sejumlah bentuk tindakan politik yang mewarnai kehidupan bangsa. Tidak ada kekuatan yang mampu mengkoreksi aksi politik tak beretika itu secara jelas dan lugas. Peran dan fungsi LSM juga terkadang mengalami distorsi, sehingga sulit membedakan kepentingan yang ada di belakangnya.
Pada konteks problematika kebangsaan diatas, setidaknya reformasi ditubuh TNI perlu diarahkan kepada: Pertama, mampu mendemokratisasikan segenap aspek kehidupan masyarakat-bangsa-negara Indonesia. Kedua, pengkajian atas peran partai politik yang menjadi penguasa sumber pemimpin dan penyelesaian konflik hanya bisa diwujudkan jika etika dan moral para politisi terjaga dengan baik. Ketiga, penegakan dan pengefektifan berbagai bentuk kontrol terhadap penguasa harus semakin diefektifkan agar kekuatan masyarakat mampu mengimbangi penyimpangan kebijakan yang dilakukan oleh elit politik dan elit pemerintahan.
Dalam mengupayakan partisipasi aktif dan berinisiatif rakyat dalam proses politik, TNI dan perlu diberi payung dalam bentuk Undang-Undang. Bukan keputusan dalam bentuk kepentingan sementara bagi elit politik yang sedang berkuasa.
Untuk mencapai maksud reformasi TNI secara mendasar diperlukan kebijakan yang memenuhi standar umum universal. Sehingga rakyat mampu menilai dan mengukur berdasarkan perbandingan dengan masyarakat bangsa-negara lain. Parameternyaadalah profesionalisme militer berdasarkan prinsip modern, yakni berlakunya differensiasi dan spesialisasi fungsi di dalam kehidupan masyarakat. Implementasi dari prinsip spesialisasi fungsi masyarakat dan profesionalisme militer tersebut sudah dilakukan TNI melalui kebijakan mundur dari posisi dan fungsi non-militer.
Nah, karena sudah melakukan reformasi, memasuki hari jadi 5 Oktober mendatang, TNI dan Polri perlu memperbaiki doktrin-doktrin yang ada. Misalnya Triubaya Cakti, Sapta Marga. Untuk mendukung reformasi doktriner tersebut perlu direvisi pengertian tentang kekuatan Hankamnas, Ketahanan Hankamnas, dan Kewaspadaan Nasional. Hal itu dibutuhkan untuk menegaskan perbedaan antara peran militer sebagai birokrasi dengan posisi dan peran rakyat atau masyarakat sipil yang di era globalisasi dituntut agar mandiri dan berinisiatif.
Sebab,masyarakat sipil dan rakyatlah yang akan menjadi faktor utama ketahanan dan integrasi nasional sementara negara diikat oleh berbagai perjanjian internasional untuk tidak mengintervensi secara langsung.
Yang paling penting diingat oleh penguasa sipil adalah, kelancaran reformasi di tubuh TNI dan Polri memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pertama, guna menyiapkan kebijaksanaan dan menyusun rencana reformasi yang simultan dan komprehensif itu sendiri. Kedua, guna melakukan penataan ulang dan pelatihan personel. Ketiga, guna menyediakan segala macam peralatan yang diperlukan bagi mendukang profesionalisasi militer, selain peningkatan gajinya.
Bagian yang paling sulit dari strategi reformasi TNI adalah pada tahapan menetapkan kebijakan yang menjadi dasar pelaksanaannya. Tarik menarik kepentingan para penguasa sipil akan mendistorsi semua ini. Untuk itu, penyikapan tegas dari TNI harus mampu disosialisasikan kepada masyarakat secara terbuka dan efektif. Pembuatan kebijakan tersebut mutlak menjadi tanggung jawab TNI sendiri. Sebab, kalangan non-militer paling sifatnya hanya mendesak dan memberikan dukungan. Tidak lebih dari itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved