Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT). PP tersebut dinilai menyebabkan disharmonisasi dan mengancam sustainability program JHT.
“Kami meminta Presiden Jokowi untuk mencabut peraturan itu. Kami sudah berusaha menyurati Presiden hingga 2 kali. Karena dari disharmonisasi tersebut menimbulkan adanya indikasi penurunan dana JHT akibat adanya yang mengajukan klaim JHT karena PHK dan lainya," ujar dia kepada politikindonesia.com dalam acara "Monitoring dan Evaluasi Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan", di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Jakarta, Rabu (07/09).
Andi mengatakan, sebenarnya JHT itu diperuntukkan bagi masa tua peserta, dan bukan diambil saat terkena PHK dan lainnya. Kalau dana JHT diambil bukan saat hari tua, maka dikhawatirkan tidak ada dana yang tersimpan. Hal ini sama saja melanggar asas kegotongroyongan yang selama ini dianut dalam UU BPJS.
“Pencairan JHT yang terdapat dalam PP tersebut, terhitung sejak mulai 1 September 2015, JHT pekerja yang berhenti bekerja atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mencairkan sesuai besaran saldo. Para pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja bisa mencairkan JHT, 1 bulan setelah mereka terkena PHK atau berhenti bekerja," ungkapnya.
Ditambahkan anggota DJSN Taufik Hidayat, dengan adanya PP No. 60/2015 yang membolehkan pekerja mengambil JTH begitu berhenti bekerja, dianggap menganggu perekonomian nasional. Pasalnya, setiap hari akan ada pekerja berbondong-bondong mengambil JHT di kantor-kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan dan dananya pun masih tersedia.
"Agar tidak mengganggu perekonomian, kami dalam waktu dekat akan bertemu Menteri Ketenagakerjaan dan meminta untuk segera mencabut Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT yang merupakan amanat dari PP No.60 / 2015. Kalau tidak segera dicabut, maka harus mengganti Undang-Undang," tegasnya.
Dipaparkan, dalam UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN yang mengantur JHT sudah dijelaskan JHT bisa diambil pekerja atau ahli warisnya, apabila pekerja memasuk usia pensiun, mengalami cacat total atau meninggal dunia.
Bahkan, dalam Pasal 35 ayat (1) berbunyi, JHT diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib. Sedangkan pada Ayat 2 berbunyi, JHT diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar pekerja menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
"Namun pada PP No.60/2015 Pasal 26 dinyatakan manfaat JHT wajib dibayarkan kepada peserta apabila peserta mencapai usia pensiun atau pengunduran diri dari perusahaan. Dana itu bisa dicairkan sebulan. Sedangkan untuk PHK terhitung sejak tanggal PHK," ucapnya.
Direktur Perencanaan Strategis dan TI BPJS Ketenagakerjaan, TB Rachmat Sentika memaparkan, hingga 30 Juni 2016, kepesertaan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sudah mencapai 477.537 perusahaan dengan total aset Rp197.658.191.345.017. Jumlah tenaga kerja sebanyak 19.640.847 orang, terdiri dari pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah dan pekerja konstruksi.
"Jika dibandingkan dengan target minimum pekerja yang mengikuti program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan tahun 2016 hanya ada 37.472.336 peserta. Maka pencapaiam kepesertaan pada semester 1 tahun 2016 baru mencapai 54,41 persen. Sehingga perluasan kepesertaan menjadi prioritas utama yang harus kami lakukan, khususnya bagi pekerja penerima upah," katanya.
Diungkapkan, penyebab masih rendahnya cakupan kepesertaan karena masih banyaknya pemberi pekerjaan yang belum memahami dan mendaftarkan tenaga kerjanya. Selain itu, sebenarnya kepesertaan jasa kontrukso cukup tinggi, tapi sesungguhnya hal itu tidak bisa dijadikan indikator naiknya perluasan kepesertaan. Sebab sifat kepesertaan pekerja kontruksi hanya sementara berdasarkan pekerjaan proyek.
"Sebetulnya program jaminan pensiun mendapat perhatian dsn diminati oleh perusahaan, terutama perusahaan yang belum memiliki badsn pensiun sendiri. Sehingga masih banyak perusahaan yang mendaftar sebagai pekerja upah, tenaga kerja dan program," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved