Aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik dan telpon, dari hari ke hari, semakin meluas ke seluruh penjuru tanah air. Tidak hanya mahasiswa yang turun ke jalan, kaum buruh, pegawai dan ibu rumah tangga pun ikut dalam aksi di berbagai daerah.
Kian meluasnya aksi unjuk rasa ini, memang harus dilihat sebagai ancaman serius terhadap kelangsungan pemerintahan Megawati dan Hamzah Haz. Sebab jika aksi-aksi ini tak direspons dengan kebijakan yang populis, sangat sulit menjalakan roda pemerintahan dalam suasana yang penuh dengan kesemrawutan akibat aksi unjuk rasa.
Sebab, di beberapa daerah, para pengunjuk rasa malah mencoba menyegel fasilitas publik seperti pusat pengendalian listrik PLN. Belum lagi kemacetan dan terhambatnya kerja aparat birokrasi dan keamanan yang harus melayani dan mengamankan para demonstran setiap hari.
Lebih dari itu, aksi unjuk rasa memang selalu dimuati dan ditunggangi oleh kepentingan politik kelompok tertentu. Dalam konteks politik, muaranya adalah semakin membesarnya oposisi terhadap pemerintahan Megawati. Sebut saja, mereka sebagai kelompok anti Mega. Mereka datang dari kalangan LSM, aktivis partai politik, mahasiswa dan sebagainya.
Dengan isu penolakan kenaikan harga BBM, telpon dan listrik yang memang mewakili kepentingan semua kelompok terutama di kalangan menengah bawah, posisi pemerintahan memang berada diujung tanduk. Serba salah, sulit mengambil posisi politik dan argumentasi yang memuaskan sebagai peredam aksi unjuk rasa.
Para pendukung Megawati di parlemen dan pemerintahan memang harus berpikir keras dan cerdas untuk keluar tragedi buah simalakama ini. Jika ingin tetap bertahan di puncak kekuasaan. Tak sekadar mengatakan sebagai ‘pil pahit’ yang harus ditelan atau kebijakan tak populis yang diutarakan Laksamana Sukardi (Meneg BUMN) dan Megawati.
Sudah waktunya, pemerintah memberikan penjelasan publik secara transparan kepada publik tentang latar belakang dan problematikanya ketika memutuskan untuk menaikan harga tiga kebutuhan vital tersebut. Bila perlu pidato khusus dan ditayangkan semua TV dan Radio dan media massa lainnya.
Sebagai pemimpin bangsa yang mendapatkan dukungan besar dalam pemilu lalu, Megawati mestinya mampu bicara di depan publik dengan pendekatan yang lebih menyentuh sehingga publik bisa memahami arah kebijakan yang diambilnya. Untuk soal ini, Mega punya kesempatan dan kekuatan untuk itu.
Sejauh ini, memang ada upaya dari Fraksi PDIP di DPR. Namun tak begitu signifikan. Entah apa pertimbangannya, tiba-tiba fraksi banteng gemuk dalam lingkaran ini ikut arus besar gelombang aksi unjuk rasa dan meminta pemerintah membatalkan kenaikan tarif BBM, listrik dan telpon. Boleh jadi, pernyataan ini hanya sekadar manuver politik PDIP untuk menyelamatkan muka pemerintah.
Terlihat FPDIP tidak ingin mengambil risiko dalam hal kenaikan harga BBM. PDIP atau pemerintah ingin menegosiasikan kenaikan harga BBM, listrik dan telepon tanpa harus kehilangan muka. Sayangnya, langkah seperti itu justru merepotkan barisan Megawati di kabinet.
Bisa dikatakan, dalam hal kenaikan harga BBM, listrik dan telepon, PDIP telah dikhianati oleh DPR. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM itu adalah juga atas persetujuan DPR.
Namun setelah kebijakan itu diambil, DPR bersikap seolah-olah tidak tahu menahu. Padahal jika melihat mekanismenya, tidak mungkin DPR tidak tahu soal kenaikan harga BBM ini.
Sikap DPR ini menunjukkan politik yang tak elok. Tidak hanya itu, DPR secara tidak langsung juga telah menyesatkan masyarakat dengan tidak memberikan informasi yang benar.
Fenomen politik di Senayan memang memperlihatkan kecenderungan sikap kalangan parlemen untuk cuci tangan. Padahal pengurangan subsidi itu dilakukan atas persetujuan DPR. Jika demikian, menjadi benar apa kata mantan Presiden Abdurrahman Wahid: Sikap DPR Seperti Taman Kanak-Kanak. Waduh!
© Copyright 2024, All Rights Reserved