Di jagat bisnis media nasional, nama Erick Thohir boleh jadi belum semenjulang Jacob Utama, Surya Paloh, atau Dahlan Iskan. Meski begitu, toh langkah pria berusia 33 tahun tetap saja mencengangkan. Lihat saja, pada 1999 mendirikan Radio One dengan jargon ‘Radionya Laki-laki’. Pada medio November 2000, mentake over harian Republika. Berikutnya menyusul majalah Golf Digest, A+, dan Radio One Bandung. Sudah begitu, meski gagal ‘menggapai’ ANTV dan TPI tak membuat dirinya melupakan mimpi untuk mendirikan stasiun televisi. “Mimpi itu jangan dibunuh, tapi untuk diwujudkan. Dan saya percaya, jika terus konsisten, bukan tak mungkin saya bisa seperti tokoh-tokoh pers tadi. Tapi, saya tak pernah bermimpi untuk menjadi Raja Media”, paparnya. Berikut petikan lengkapnya:
{Grup Mahaka terlihat demikian ekspansif dalam berinvestasi. Sebetulnya, bagaimana Anda melihat iklim investasi di Indonesia?}
Memang, sebagai pengusaha saya harus mengakui, nilai kompetitif Indonesia itu dibanding negara-negara tetangga, memang kalah. Menurut saya, kita hanya menang dua hal. Pertama, jumlah penduduk. Jadi, Indonesia itu pasarnya bagus dengan jumlah penduduk sebesar 220 juta. Kedua, sumber daya alamnya. Itu saja.
Kalau masalah-masalah seperti perpajakan, perburuhan, infrastruktur, kualitas SDM, kita kalah. Cuma, Allah SWT itu baik sama kita dengan memberikan jumlah penduduk yang banyak dan sumber daya alam yang melimpah luar biasa.
Kalau kita (pemerintah, dan juga pengusaha) tidak do something, ke depan akan bahaya. Karena unsur dari perekonomian sebuah negara adalah perputaran uang. Makin cepat uang berputar, makin banyak orang merasakan uang itu berputar, ekonomi sebuah negara menjadi hidup.
Jika saya mendepositokan uang di bank, makan bunga, yang merasakan itu cuma saya. Tapi, jika saya investasikan ke sebuah bisnis, bikin perusahaan dengan tenaga kerja sebesar 300 orang, kan banyak yang merasakan dari perputaran uang tersebut.
Ini yang musti kita pikirkan baik-baik secara bersama-sama. Dan kita sudah musti berpihak kepada UKM, usaha kecil dan menengah. Karena, kunci dari pergerakan ekonomi suatu negara adalah kestabilan dari sektor UKM tersebut. Konglomerat diamkan saja, tapi juga jangan dibunuh, karena biar bagaimana pun kita perlu. Jika tidak berpihak pada UKM, takkan pernah keluar yang namanya enterpreneur-enterpreneur baru.
{Tapi, bukankah memang hanya yang besar-besar itu yang merasakan dampak dari krisis ini, sementara yang kelas UKM masih relatif eksis?}
Tidak juga. Coba Anda lihat ke daerah-daerah, mereka (UKM) itu susah. Sekarang, dengan adanya otonomi daerah, mereka sangat bergantung kepada APBD. Tapi, itu sebatas pengusaha kontraktor saja. Itu bukan membangun enterpreneurship loh. Saya setuju dengan pendapat bahwa otonomi daerah banyak bergerak membantu kalangan pengusaha. Tapi itu tidak bersifat long life, karena enterpreneurship tidak dibangun.
Untuk UKM, bagaimana dia bisa meminjam duit ke bank, karena jelas, nilai koleteral aset (nilai uang yang dipinjam) musti 75 persen dari nilai aset. Dapat duit, bunganya sudah tinggi. Ya kan? Yang namanya dagang sekarang, nggak mungkin langsung untung. Karena pasti ada jangka waktunya untuk growth.
{Contoh kongkritnya?}
Contohnya tidak usah orang lain deh. Saya saja di Grup Mahaka. Kita investasi di radio. Dengan demikian kompetitifnya bisnis radio saat ini, saya prediksikan dua tahun break event point (BEP). Dalam praktiknya, dua tahun itu cashflow baru positif. BEP-nya kita hitung bisa lima tahun. Harga lisensi radio waktu saya masuk masih Rp1 miliar, itu dua tahun yang lalu. Sekarang harganya sudah mencapai Rp3,5 miliar sampai Rp4,5 miliar. Secara logika saja, siapa yang sanggup bikin radio sekarang dengan harga sebesar itu?
Bisnis media cetak, memang tidak perlu ijin lagi sekarang. Tapi, media cetak itu lebih susah dari pada media elektronik. Karena itu menyangkut distribusi, kertas, cetak, SDM, dan sebagainya.
{Kesiapan apa yang musti dimiliki untuk masuk ke bisnis media?}
Harus siap kapital. Jika hanya punya modal untuk dua tahun saja, lebih baik tidak usah bikin, mendingan masuk bisnis lain. Kedua, SDM-nya mampu tidak. Pemodalnya mengerti tidak lika-liku bisnis media. Yang bekerja, punya tidak kapabilitas untuk itu. Ketiga, content atau konsep dari isi media tersebut. Sekarang dengan demikian banyaknya media, dia harus memiliki posisi yang jelas. Sekarang sudah tidak bisa lagi menerbitan media dengan ‘asal terbit’.
{Apa yang mendasari Anda masuk ke bisnis media?}
Kita tetap melihat ini sebagai sebuah bisnis. Grup Mahaka sekarang bergerak di sektor industri dan perkebunan. Itu semua sifatnya alam kan? Mungkin nggak suatu hari nanti alam itu habis? Mungkin dong. Makanya, kita musti memiliki bisnis yang market oriented. Lalu, terpikirlah untuk masuk ke bisnis media. Kenapa media, karena dari empat pendiri dan pemilik Grup Mahaka itu ada yang mengerti bisnis media, yaitu saya yang memiliki background advertising dan marketing. Jadi, secara bisnis, kapital sudah disiapkan. Begitu pula dengan konsepnya. Tinggal kita mencari SDM-nya kan?
Dan media yang kita keluarkan merupakan the segmentation media. Contoh Republika, koran Muslim. Kita harus memiliki media yang memang hanya mengupas satu komunitas saja. Republika untuk Moslem Community. Kita beda dengan Kompas atau Media Indonesia.
Radio One 101.25FM yang kita bikin, dengan jargon ‘Radio Laki-Laki’. Pokoknya, harus segmented. Lalu, majalah Golf Digest. Beda dengan media-media olahraga lainnya. Yang ini khusus golf. Dan kita punya ciri dan posisi tersendiri, semuanya musti edukatif. Bukan cuma News Oriented. Kita punya edukatif untuk komunitasnya. Selain itu, kita juga ingin membangun kita punya komuniti. Misalnya di Republika, kita akan bangun kebudayaan Muslimnya.
Dengan konsep seperti itu, setiap media yang saya terbitkan selalu tidak akan melahirkan ‘musuh’. Sebagai orang muda, lebih baik saya menghindar, ngapain cari musuh. Bagi saya, lebih baik mendevelop komunitas yang belum terdevelop.
{Untuk radio, Anda berani membangun baru. Mengapa untuk koran musti mengambil yang sudah ada? Ada pemikiran tersendiri?}
Strateginya, kembali dengan melihat peluang dan potensi bisnis. Kita mengambil media yang sudah ada, untuk mempercepat quantum leaf. Republika sudah terbit sudah masuk tahun ke sepuluh. Saya baru pegang dua tahun lebih sejak November 2000. Itu pun kita masih bleeding, tapi cenderung menurun dan kita sudah listing di bursa.
Bayangkan, jika saya terbitkan koran baru. Siap nggak? Rasanya kok tidak akan mampu. Maka, mendingan ambil yang sudah ada. Beda dengan radio yang saat itu hanya Rp1 miliar, sekarang sudah Rp4,5 miliar. Dan yang perlu ditegaskan di sini, saya masuk media itu business oriented, bukan politik.
{Anda penggila olahraga Basket. Tapi, mengapa menerbitkan Golf Digest, bukan media Basket, misalnya?}
Sekali lagi, ini bisnis. Kalau saya bikin majalah basket, belum tentu untung. Sebagai business man kita tidak boleh fallin in love terhadap bisnis yang kita geluti. Kalau kita fallin in love, logika berfikirnya sudah bakalan takkan rasional. Kebalikannya, jika sebagai profesional musti dan wajib fallin in love terhadap profesinya. Jika si enterpreneur juga fallin in love, bisa rusak. Karena, yang dikerjakan si profesional belum tentu benar.
{Bisnis media di Grup Mahaka itu relatif baru. Bagaimana meyakinkan partner yang lain bahwa bisnis media pun sama menguntungkannya seperti industri dan pertambangan seperti yang selama ini digeluti Grup Mahaka?}
Alhamdulillah, waktu mau terjun ke bisnis media, semuanya komit terlebih dahulu. Bukan saya yang maju sendirian. Setelah komit baru kita semua maju. Di sini kita mempunyai shareholder agreement, bahwa Mahaka merupakan brand-nya kita semua. Setiap investasi baru musti diprove empat-empatnya. Dengan pola seperti itu, bisa jadi yang membuat Mahaka terus survive hingga sekarang.
{Sebelum memutuskan masuk ke bisnis media, untuk menambah lini baru di samping industri dan perkebunan, apakah ada pilihan sektor lain?}
Pemikirannya sederhana saja. Begini, kita berempat masing-masing kan memiliki keluarga. Kebetulan pula, masing-masing memiliki family business. Keluarga Wisnu bermain di sektor perkayuan, keluarga saya ada di restoran, properti. Jadi, paling tidak, masuklah ke bisnis yang belum digarap masing-masing keluarga. Di sini, kita tidak mau ribut soal itu. Nah, bisnis media yang belum digarap. Jadi, kita masuk ke situ. Namun, tentu saja, hitungan bisnis merupakan hal mutlak dilakukan sebelum melangkah. Tidak asal masuk.
{Apa rencana atau langkah Anda selanjutnya di bisnis media?}
Saya masih tetap bermimpi untuk membangun stasiun televisi. Kita pernah take a look ANTV, pernah kirim surat ke TPI. Tapi, setelah dihitung kita tidak berani. Tapi, maaf, saya tidak bisa mendetail sola yang ini, tidak enak karena pemiliknya sudah berbeda. Saat itu, jujur saja, Mahakanya yang belum siap. Pokoknya, setiap masuk bisnis baru, pertanyaannya cuma satu, Mahakanya siap atau tidak? Dari sisi kapital, SDM, dan konsep isi.
Yang jelas, televisi masih merupakan our dream. Ingat mimpi itu tidak boleh dibunuh, karena nanti kerjanya bakal malas-malasan. Dan bukan tak mungkin kita bangun televisi di daerah. Mudah-mudahan. Ancar-ancarnya begini saja, pokoknya mulai tahun 2004 kita akan stop ekspansi baru. Kita akan fokus ke bisnis yang sedang kita kerjakan saja. Iklim makro ekonomi dan politik merupakan salah satu alasan kita.
{Dengan menerapkan strategi segmented untuk bisnis media, apakah itu sudah Anda anggap cukup untuk melawan ‘raja-raja’ bisnis media di Indonesia?}
Yang perlu Anda tahu, masuknya Mahaka ke bisnis media, bukan untuk menjadi Raja Media di Indonesia. Tapi, kita masuk ke celah yang belum diambil para raja media tadi. Mungkin, kita akan menjadi Raja Kecil di media segmented. Seperti Jacob Utama, Surya Paloh, dan Dahlan Iskan, masuk lebih dulu ketimbang saya.
Jadi, kita sebagai orang muda tidak perlu sombong bahwa kita juga bisa seperti mereka. Yang penting, asal kita percaya diri dan konsisten, suatu hari pun kita akan besar seperti beliau-beliau tadi.
{Di bisnis Grup Mahaka, sepertinya Anda memang diplot untuk menangani bisnis media. Sejauhmana keterlibatan Anda di sektor lain seperti industri, perdagangan, dan perkebunan?}
Oh, kecil sekali. Memang, strategi kami di Mahaka, kita berempat masing-masing fokus di sektornya masing-masing. Seperti Wisnu di Mahaka Industri (pertambangan dan perkebunan), M. Lutfi di Mahaka Trading, saya di Mahaka Media, dan Harry di Holding, yang pegang lawyer dan finance Grup Mahaka. Tapi, setiap bulan kita selalu kumpul untuk review.
{Ke depan, Anda yakin bisnis media akan tetap sebagai bisnis yang menguntungkan?}
Saya yakin masih. Asal, ya itu tadi, kita musti siap kapital, SDM, dan konsep isi. Kalau tidak siap, babak belur. Cuma punya SDM, mimpi. Cuma punya uang, juga percuma. Cuma buang-buang duit saja. Punya uang dan SDM, tapi tidak punya konsep, juga buang uang. Ketiga syarat tadi saling terkait.
© Copyright 2024, All Rights Reserved