Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama ke-5 Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Tegal, Jawa Tengah, mengeluarkan fatwa yang menyatakan, praktik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan tidak mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam. Konsep itu terlebih dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak.
Ijtima Ulama ke-5 Komisi Fatwa MUI se-Indonesia itu diselenggarakan di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah, Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada 7-10 Juni 2015.
Dalam pernyataan MUI kepada pers, Rabu (29/07), dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh muamalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan beberapa literatur, BPJS kesehatan jauh dari konsep jaminan sosial dalam Islam. MUI menitikberatkan pada persoalan keterlambatan pembayaran iuran untuk Pekerja Penerima Upah.
Dalam pandangan MUI, pengguna dikenakan denda administratif sebesar 2 persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 bulan. Denda dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.
Sementara keterlambatan pembayaran iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2 persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
MUI menegaskan, konsep dan praktik BPJS kesehatan melenceng dari syariah Islam. Pasalnya akad antar pihak itu mengandung riba.
“Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antarpara pihak, tidak sesuai prinsip syariah, karena mengandung unsur gharar, maisir, dan riba," demikian pernyataan MUI.
Sebab itu pihaknya mendorong pemerintah membentuk penyelenggara pelayanan jaminan sosial sesuai syariah. "MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima," demikian pernyataan MUI.
© Copyright 2024, All Rights Reserved