KPK meluncurkan kode etik bagi para politisi dan partai politik untuk mendorong iklim politik yang cerdas dan berintegritas. Kode etik ini disusun KPK bersama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Mereka menyebutnya, Produk Politik Cerdas dan Berintegritas (PCB) berupa Naskah Kode Etik Politisi dan Partai Politik, serta Panduan Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Ideal.
"Kami sadar betul tidak mungkin persoalan integritas dan korupsi hanya dikerjakan di KPK. Kami harus bekerja sama dengan seluruh komponen bangsa dan yang paling strategis, dan mereka adalah politisi karena mereka pemimpin," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Kamis (24/11).
Terdapat 4 substansi dalam naskah kode etik politisi itu. Pertama, masuk ke dalam dan menjadi bagian penting dari Undang-undang tentang parpol; kedua, naskah ini menjadi salah satu persyaratan mutlak apabila negara akan memberikan dana kepada partai politik yang berasal dari APBN;
ketiga, Kementerian Hukum dan HAM menjadikan naskah ini sebagai sebagian dari persyaratan mutlak bagi parpol yang mendaftarkan diri sebagai badan hukum ke Kemenkumham; Keempat, adanya tekanan masyarakat kepada partai-partai politik agar naskah ini terinternalisasi di dalam jiwa, pikiran dan tindakan para politisi dan parpol.
"Saya kaget dari segi tingkat pendidikan, ada 600-an koruptor yang ditangkap KPK dominan bergelar master sedangkan ada sekitar 40 orang itu S3, artinya koruptor kebanyakan pendidikan tinggi. Apalagi dari kasus yang in kracht, 32 persen perwakilan parpol. Kenyataan itu sangat miris karena kita butuh politisi yang begitu baik dan betul-betul jadi inspirasi," tambah Laode.
Sementara peneliti senior LIPI Syamsudin Haris mengatakan, kerja sama KPK dengan LIPI sudah terjadi sejak Juni 2016 lalu. "Pertanyaannya mengapa parpol? Kita tahu semua bahwa parpol adalah pilar utama sistem demokrasi kita. Saya kira kita sepakat bahwa demokrasi kita ada di tangan parpol, kalau parpol dan politisinya tidak begitu baik maka sangat mungkin masa depan kita tidak baik juga, cuma masalahnya adalah bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap parpol tidak begitu baik," kata Syamsudin.
Tingkat kepercayaan yang rendah itu, ujar dia, terjadi karena kualitas kinerja parpol dan pemimpinnya yang belum baik. "Kami memandang bahwa semua pada dasarnya perlu kata etik. Kita tahu sebagaimana diamanatkan di konstitusi kita, parpol yang menyeleksi semua pejabat publik. Oleh sebab itu penting bagi politisi kita memiliki kerangka etik dan panduan bagaimana bertingkah laku yang patut dalam prilaku politisi," ujar dia.
Demikian pula dengan parpol, yang membutuh kerangka etis . "Katakanlah parpol melakukan kesalahan maka bisa dilikuidasi tidak bisa ikut pemilu. Itu semacam kode etiknya," ujar dia.
Ia mencontohkan dalam kode etik yang disusun tersebut Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) dapat menghukum penyelenggara pemilu apabila melanggar panduan etik.
"Hal yang sama bisa diberlakukan kepada politisi dimana bagi yang melanggar bisa dihukum oleh mahkamah etik. Mahkamah etik bisa dari internal dan eksternal. Putusannya final dan mengikat supaya tidak ada intervensi dari pengadilan dan hukum," jelas Syamsudin.
Sedangkan Panduan Mekanisme Seleksi dan Kaderisasi Parpol mengatur bagaimana parpol menerapkan seleksi yang baku, transparan dan akuntabel serta mengimplementasikan standar kaderisasi secara umum.
© Copyright 2024, All Rights Reserved