Saat ini hutang Indonesia sudah mencapai Rp4.000 triliun dan rasio kesenjangan ekonomi sudah mencapai 4,0. Kondisi ini mengkhawatirkan. Indonesia terancam menjadi negara yang gagal.
Demikian pandangan Taufan Maulamin, Direktur Program Pasca Sarjana Institut STIAMI saat berbicara pada Seminar Nasional Kepemimpinan: "Problematika dan Solusi untuk Mewujudkan Masyarakat Demokrasi yang Menyejahterakan", di Jakarta, Minggu (05/02).
Oleh karena itu, pihaknya mengajak semua kalangan, terutama kaum akademisi untuk mengkritisi secara tulus keadaan dan nasib bangsa Indonesia. Terlebih keterlambatan ekonomi makin nyata. Apalagi ditengah berbagai kegagalan pembangunan ekonomi, Indonesia kini menghadapi dekonstruksi bangsa yang mengatasnamakan demokrasi
"Kemiskinan akan terus terjadi, jika menggunakan indikator dunia sudah mencapai 120 juta penduduk. Apakah ini bukan namanya negara gagal? Apalagi sekarang elemen bangsa satu dengan yang lainnya terus diadu. Mereka yang yang memiliki pendapat berseberangan dengan pemerintah dituduh makar, anti NKRI dan membahayakan kebhinekaan," sebutnya.
Taufan mengatakan, setelah hampir 72 tahun merdeka, belakanagn nasionalisme umat Islam dipertanyakan kualitasnya oleh sebagian warga negara ini. Pertanyaan itu mumcul hanya karena warga tersebut memiliki ghirah keislaman yang semakin tinggi. Padahal negeri ini dibangun dengan keringat rakyat, dengan jerih payah rakyat sehingga proses dan hasil pembangunan semestinya dinikmati oleh rakyat.
"Padahal pemimpin nasional juga hasil dari pemilu yang mengemban amanah rakyat. Artinya rakyatlah yang seharusnya dinomorsatukan, diutamakan dan dibela kepentingannya," ujar dia.
Ia menambahkan, nilai-nilai kepemimpinan tidak bisa dipisahkan antara negara dan agama. Sebagaimana yang menjadi perumusan dasar Pancasila. Kepemimpinan dalam Islam berkisar di antara dua tema besar yaitu kepemimpinan mikro yang membahas tentang kualitas seorang pemimpin muslim dan ajaran tentang politik atau negara.
"Bangkitnya ghirah politik Islam akhir-akhir ini lebih bersifat substantif atau nilai ajaran Islam daripada bentuk atau formal politik Islam. Karena seharusnya, membesarkan ghirah politik Islam belakangan ini tidak dianggap sebagai ancaman terhadap nasionalisme," ucapnya.
Sementara itu, Sesjen MPR RI, Dr. Maruf Cahyono menambahkan, kepemimpinan harus memiliki nilai akuntabilitas. Pemberi mandat bisa mengawasi siapapun yang diberi mandat. Sehingga seseorang yang diberikan mandat, harus bisa mempertanggungjawabkan kepemimpinnya kepada yang memberikan mandat.
"Lembaga MPR sebagai lembaga tinggi negara turut dalam menjaga nilai-nilai kepemimpinan nasional agar kondisi politik dan demokrasi berbangsa dapat berjalan dengan baik,” katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved