Instruksi Presiden (Inpres) No 1/ 2003 tentang Percepatan Pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga Bagian tidak sejalan dengan UU No. 21/ 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua yang berlaku sejak 21 November 2001.
Semestinya Inpres sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini UU Otsus.
Demikian kata mantan anggota Pansus RUU Otsus bagi Provinsi Papua dari Fraksi TNI/Polri, Christina M Rantetana seperti dilansir Suara Pembaruan.
Berdasarkan pasal 76 UU Otsus Papua, pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi harus dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Langkah pemekaran harus dilakukan dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi serta perkembangan Papua di masa mendatang.
MRP hingga kini belum terbentuk dan masih dibahas oleh pemerintah karena berdasarkan UU Otsus, MRP dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Rancangan PP tersebut telah selesai dibahas di Depdagri dan akan dipaparkan di tingkat Polkam, sebelum dibawa ke sidang kabinet terbatas.
Christina mengaku bahwa penerbitan Inpres ini mengacu pada UU No. 45/ 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga bagian. UU ini meskipun sudah ditolak oleh rakyat Papua dan juga DPRD Papua, sampai sekarang belum dicabut keberadaan UU tersebut.
"Namun, saya melihat dari sisi positifnya. Inpres ini sebagai langkah antisipatif pemerintah untuk menghadapi pemilu mendatang. Tentu saja kalau nanti MRP telah dibentuk dan MRP tidak setuju dengan pemekaran berdasarkan Inpres tersebut, itu akan dicabut kembali oleh pemerintah," kata Christina.
Desakan agar pemerintah mencabut Inpres No.1/2003 juga dikeluarkan Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua. Dalam pernyataan persnya yang ditandatangani Budi Setyanto, lembaga itu menilai, Inpres tersebut bertentangan dengan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Dikatakan, dengan berlakunya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua maka pengaturan pemekaran Provinsi Papua menjadi tidak berlaku. Sebab, Pasal 76 UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyebutkan pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRD Papua.
Dari dimensi politik, UU Otonomi Khusus jauh lebih tinggi dari UU Pemekaran Irian Jaya. UU Otonomi Khusus merupakan amanat Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 dan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000. Kedua ketetapan MPR itu secara khusus menjawab permasalahan politik yang muncul di Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya.
Budi berpendapat, Inpres yang dikeluarkan Presiden Megawati Soekarnoputri sama sekali tidak menyelesaikan persoalan Papua. Inpres itu justru menimbulkan problem serius dalam bidang hukum, sosial dan politik. Secara hukum Inpres tersebut salah karena menjalankan UU yang secara hukum tidak berlaku lagi dengan munculnya UU No 1/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Berdasarkan argumen-argumen tersebut, ISC meminta Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mencabut Inpres tersebut. Bila tidak, ISC meminta kepada seluruh kekuatan pro demokrasi dan konstitusi untuk meminta Mahkamah Agung (MA) melakukan uji materiil terhadap Inpres No 1 Tahun 2003 itu.
ISC juga menganjurkan supaya diadakan debat nasional secara terbuka, rasional dan fair dengan menghadirkan para tokoh hukum dan politik. Tujuannya untuk mengkaji problem hukum dan politis dari Inpres tersebut.
Inpres Pemekaran Papua Bermasalah
Semestinya Inpres sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini UU Otsus.
Demikian kata mantan anggota Pansus RUU Otsus bagi Provinsi Papua dari Fraksi TNI/Polri, Christina M Rantetana seperti dilansir Suara Pembaruan.
Berdasarkan pasal 76 UU Otsus Papua, pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi harus dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Langkah pemekaran harus dilakukan dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi serta perkembangan Papua di masa mendatang.
MRP hingga kini belum terbentuk dan masih dibahas oleh pemerintah karena berdasarkan UU Otsus, MRP dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Rancangan PP tersebut telah selesai dibahas di Depdagri dan akan dipaparkan di tingkat Polkam, sebelum dibawa ke sidang kabinet terbatas.
Christina mengaku bahwa penerbitan Inpres ini mengacu pada UU No. 45/ 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga bagian. UU ini meskipun sudah ditolak oleh rakyat Papua dan juga DPRD Papua, sampai sekarang belum dicabut keberadaan UU tersebut.
"Namun, saya melihat dari sisi positifnya. Inpres ini sebagai langkah antisipatif pemerintah untuk menghadapi pemilu mendatang. Tentu saja kalau nanti MRP telah dibentuk dan MRP tidak setuju dengan pemekaran berdasarkan Inpres tersebut, itu akan dicabut kembali oleh pemerintah," kata Christina.
Desakan agar pemerintah mencabut Inpres No.1/2003 juga dikeluarkan Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua. Dalam pernyataan persnya yang ditandatangani Budi Setyanto, lembaga itu menilai, Inpres tersebut bertentangan dengan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Dikatakan, dengan berlakunya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua maka pengaturan pemekaran Provinsi Papua menjadi tidak berlaku. Sebab, Pasal 76 UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyebutkan pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRD Papua.
Dari dimensi politik, UU Otonomi Khusus jauh lebih tinggi dari UU Pemekaran Irian Jaya. UU Otonomi Khusus merupakan amanat Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 dan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000. Kedua ketetapan MPR itu secara khusus menjawab permasalahan politik yang muncul di Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya.
Budi berpendapat, Inpres yang dikeluarkan Presiden Megawati Soekarnoputri sama sekali tidak menyelesaikan persoalan Papua. Inpres itu justru menimbulkan problem serius dalam bidang hukum, sosial dan politik. Secara hukum Inpres tersebut salah karena menjalankan UU yang secara hukum tidak berlaku lagi dengan munculnya UU No 1/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Berdasarkan argumen-argumen tersebut, ISC meminta Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mencabut Inpres tersebut. Bila tidak, ISC meminta kepada seluruh kekuatan pro demokrasi dan konstitusi untuk meminta Mahkamah Agung (MA) melakukan uji materiil terhadap Inpres No 1 Tahun 2003 itu.
ISC juga menganjurkan supaya diadakan debat nasional secara terbuka, rasional dan fair dengan menghadirkan para tokoh hukum dan politik. Tujuannya untuk mengkaji problem hukum dan politis dari Inpres tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved