Rencana sebagian anggota DPR untuk mengaktifkan hak interpelasi berkenaan kepergian Presiden Megawati menghadiri perayaan kemerdekaan Timor-Timur sebagai negara baru terkesan mengada-ada. Argumentasi yang digunakan cenderung mengggunakan soal-soal ketidakpuasan politis terhadap kunjungan Presiden ke Timor-Timur.
Sudah tentu, menurut ketua PBHI Hendardi, bila argumentasi serampangan seperti itu bisa digunakan dengan mudah oleh anggota DPR untuk mengaktifkan hak interpelasi, maka akan dengan mudah hak interpelasi dijadikan alat tunggangan bagi kepentingan politik partisan yang bekerja semata-mata demi kekuasaan
Preseden penggunaan hak interpelasi oleh DPR dalam kasus {Bulogate} 1 ataupun rencana pengaktifan hak interpelasi dalam dana Banpres masih memiliki alasan rasional hukumnya yaitu, adanya dugaan pelanggaran hukum {(abuse of power)} yang dilakukan oleh Presiden. Namun dalam kasus kunjungan Presiden ke Timor-Timur, sukar dan mengada-ada untuk dapat dikatakan bahwa Presiden patut diduga telah melakukan pelanggaran hukum.Bahkan Ketetapan MPR No V tahun 1999 mengakui dan mengesahkan hasil penentuan pendapat di Timor-Timur.
Pengakuan dan pengesahan hasil penetuan pendapat lewat ketetapan MPR No V Tahun 1999 ini, membawa konsekwensi bahwa hubungan Indonesia dan Timor-Timur lebih berorientasi pada masa depan dalam memajukan kepentingan nasional masing-masing dari kedua negara.
Sikap yang kerdil dan hipokrit bila kita mengakui penentuan pendapat di Timor-Timur, sambil terus mengobarkan permusuhan atau sikap yang tidak bersahabat dengan negara baru Timor-Timur. Sikap seperti itu, bukan saja tidak realistis, namun lebih merupakan refleksi dari adanya pemanfaatan kasus hubungan luar negeri Indonesia terhadap Timor-Timur untuk memojokkan lawan politik di dalam negeri. Ketimbang alasan-alasan yang lebih rasional yaitu soal kepentingan nasional yang lebih luas.
Jadi nampak jelas, bagaimana politisi di Senayan menggunakan wewenangnya secara tidak bertanggung jawab. Harus diingat bila penggunaan hak interpelasi dilakukan secara semena-mena, taruhannya bukan kejatuhan seorang Presiden semata, melainkan akan membahayakan keberlangsungan kehidupan demokrasi. Dan artinya para politisi itu, sedang membuka jalan bagi kembalinya rezim otoritarisme di Indonesia. (*)
© Copyright 2024, All Rights Reserved