Permasalahan tenaga kerja di Indonesia semakin berat. Bagaimana tidak berat, angka pengangguran saja sudah mencapai 38,3 juta jiwa. Dari angka itu tercatat 8,1 juta yang menganggur total atau tidak bekerja sama sekali dan tidak memiliki penghasilan. Sementara yang 30,2 juta, itu setengah menganggur, atau mereka yang bekerja di bawah 35 jam. Bahkan, bila ada buruh yang dibayar UMR, meski bekerja selama 40 jam, tak cukup untuk memenuhi standar hidupnya. Ke depan, saya menghendaki tidak lagi dilihat dari jam kerja, tapi dilihat dari penghasilannya. Demikian pendapat Jacob Nuwa Wea dalam percakapan dengan Bandarlampung News di Jakarta beberapa waktu lalu. Berikut petikannya.
{Mengapa masalah tenaga kerja makin berat?}
Kita semua sudah tahu itu, apalagi ditambah dengan dampak krisis multidimensional yang berkepanjangan yang dihadapi bangsa ini. Juga, jumlah masyarakat miskin semakin meningkat. Jumlah karyawan yang di PHK semakin besar karena perusahaannya bangkrut atau untungnya kecil lalu pindah ke tempat lain.
{Apa yang ada dalam benak Anda untuk mengatasi hal itu?}
Dengan meningkatkan kualitas hidup dan keterampilan. Saya bisa katakan, bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia itu sangat rendah. Itu hasil survei, bukan karangan saya. Hasil survei itu di 12 negara, Asean dan negara lain sekitarnya, kita ada di urutan 12. Dalam penempatan tenaga kerja ke luar negeri, kita kalah bersaing dengan Philipina, karena kualitas mereka lebih baik.
Contoh lain, sebenarnya kesempatan kerja di dalam negeri itu masih jauh lebih baik di berbagai sektor. Tetapi, kita belum mampu mengisi sektor-sektor tersebut karena kualitas kita yang pas-pasan.
Yang musti kita lakukan dalam kondisi tenaga kerja yang berat dan kualitas yang rendah itu adalah pemerintah harus segera menekan jumlah angka pengangguran. Karena, dengan adanya pengangguran yang tinggi akan menimbulkan dampak sosial yang bisa meningkatkan angka kriminalitas.
{Angka pengangguran bakal meningkat dengan masuknya kembali TKI ilegal dari Malaysia. Ada treatment khusus?}
Dengan adanya TKI ilegal dari Malaysia itu, ada beberapa wacana yang mudah-mudahan bisa dilaksanakan oleh bangsa ini. Pertama, kita mencoba memberikan perluasan dan peluang kesempatan kerja baik dalam negeri maupun luar negeri. Kesempatan kerja di luar negeri itu masih sangat luas. Perawat atau pekerja rumah sakit, misalnya, puluhan ribu dibutuhkan. Demikian juga dengan sektor pariwisata dan hotel, puluhan ribu dibutuhkan.
Belum lagi tenaga pelaut yang banyak juga dibutuhkan negara lain, puluhan ribu jumlahnya. Tapi, lagi-lagi kita terbentur masalah kualitas. Pelaut Philipina yang bekerja di kapal-kapal pesiar asing itu jumlahnya bisa mencapai 200 ribu orang. Sedangkan Indonesia baru sekitar 70 ribu sampai 100 ribu Pelaut.
{Soal kualitas tadi, kelemahan apa yang paling menonjol?}
Kemampuan dalam berkomunikasi sebagian besar tenaga kerja kita terbilang sangat lemah. Khusus perawat, saya sudah minta kepada Menteri Kesehatan bahwa kualifikasi perawat itu harus sarjana (S1), tidak lagi Diploma III. Karena kalau kita lihat perawat-perawat asal Philipina semuanya sudah S1.
Gambaran kualitas, bisa kita lihat juga dari pendidikannya. Menurut pendidikan angkatan kerja, 59,01 persen itu SD ke bawah, 36,04 persen pendidikan menengah (SLTP, SMU, atau sekolah kejuruan), pendidikan tinggi (termasuk Diploma III) hanya 4,9 persen. Itu dari 200 juta lebih rakyat Indonesia. Dengan kondisi itu, bagaimana kita bermimpi untuk memiliki SDM yang berkualitas yang tak kalah dengan negara lain. Kalau kita lihat ranking Human Development Index (HDI) menyebutkan, Indonesia berada di posisi 102, di bawah Philipina, Malaysia, dan Singapura.
{Bagaimana dengan kesempatan dan peluang kerja di dalam negeri?}
Lihat saja di sektor pertanian yang memang masih banyak membutuhkan tenaga. Tapi, celakanya, banyak masyarakat kita yang lebih senang bekerja di pabrik-pabrik ketimbang di sektor pertanian dan perkebunan di kampung-kampung. Juga, sektor pariwisata. Ini sangat luas sebenarnya. Dari tiga sektor ini saja banyak yang bisa kita lakukan. Nah, dari peluang dan kesempatan kerja di dalam dan luar negeri itu, masalahnya tetap kualitas. Maka, saya telah mencanangkan untuk meningkatkan kualitas SDM kita. Ini penting karena produktivitas.
SDM kita itu kalah dengan Jepang, bahkan dengan Malaysia. Dalam pengertiannya, orang Indonesia dibutuhkan enam orang, orang Malaysia cukup satu.
{Apakah ada hubungan antara produktivitas dengan tingkat kesejahteraan?}
Itu juga yang sudah saya bilang, jika ingin meningkatkan produktivitas, ya tingkatkan juga dong tingkat kesejahteraannya. Ini perlu seimbang. Dan saya lihat ini yang tidak fair juga. Maka, saya terus mendorong agar peningkatan produktivitas itu perlu diimbangi dengan kesejahteraan yang didapatkan seorang pekerja. Di samping itu juga kita harus melakukan perlindungan tenaga kerja. Di sini, pekerja tidak mudah dikenakan PHK, sanksi, hak-hak normatifnya harus mereka dapatkan, dan peraturan perundangan harus berjalan.
Dan yang perlu disadari semua kalangan, dengan adanya UU tentang Otonomi Daerah, peran dan posisi Depnaker itu sudah ‘terpotong’. Tinggal hanya kepala, badan ke bawah sudah tidak punya lagi. Karena, Kanwil Tingkat I itu sudah menjadi urusan gubernur. Begitu juga dengan Daerah Tingkat II, sudah menjadi kewenangan walikota dan bupati.
{Tapi, ada pengusaha yang menyatakan bahwa penanganan yang dilakukan Depnaker terhadap masalah ketenagakerjaan di Indonesia hanya sebatas bersifat parsial. Komentar Anda?}
Saya berani memastikan bahwa yang menyatakan itu pasti ‘pengusaha nakal’ yang memang inginnya buruhnya itu hidup menderita saja seperti zaman dahulu kala. Dan saya yakin seyakin-yakinnya, yang ngomong seperti itu biasanya bukan pengusaha, tapi pegawainya pengusaha. Saya justru sarankan, owner-ownernya yang ngomong. Kalau pegawai pengusaha itu kesannya pasang badan.
Padahal, kita punya program dan sistem dalam menangani masalah tenaga kerja. Tapi, masalah tenaga kerja ini bukan hanya urusan Depnakertrans saja. Ini masalah nasional yang harus kita bereskan bersama-sama.
Jika sistem pendidikan kita macam ini sekarang dimana hanya menghasilkan sarjana-sarjana yang tak siap kerja, salahnya siapa? Kualitas tenaga kerja itu datang dari sistem pendidikan nasional. Ini bisa disebut indikasi bahwa kualitas SDM kita rendah karena sistem pendidikannya yang seperti sekarang ini. Kita rekrut 100, bisa dapat lima yang berkualitas saja itu sudah bagus.
Di samping itu, anggaran yang dimiliki Depnakertrans juga sangat minim. Tahun 2002 ini anggaran kita hanya Rp 153 miliar. Apa yang bisa dilakukan dengan anggaran sebesar itu?
{Bukankah kita sudah memiliki Balai Latihan Kerja (BLK)?}
Perlu Anda ketahui, bahwa kita memiliki 165 BLK di seluruh Indonesia. Tapi, sekarang, BLK-BLK itu ditangani oleh pemda, tidak lagi oleh kita. Kami itu hanya punya enam BLK, yaitu di Surabaya, Makassar, Samarinda, Bandung, Serang, dan Jakarta. Coba Anda lihat BLK yang di daerah, nasibnya sangat memprihatinkan, ditelantarkan. Padahal, kita membangun BLK itu miliaran rupiah biayanya. Maka, saya bilang, jika teman-teman di daerah tidak mampu lagi mengelola BLK, kembalikan saja lagi ke pusat. Kita yang ngurus, Anda yang pergunakan hasilnya, kan begitu. Tapi, yang terjadi sekarang, banyak BLK yang sudah alih fungsi. Padahal, BLK itu sangat penting ketika sistem pendidikan kita kurang mendukung kesiapan kerja yang ada, baik pasar kerja di dalam maupun di luar negeri.
{Apakah kesempatan kerja di sektor informal pun memiliki tempat dalam bahasan masalah yang ada?}
Saya bisa katakan, kesempatan kerja yang paling banyak, di luar yang tadi saya sebutkan, adalah sektor informal. Bahkan, 65 persen soal sektor informal ini, terus saya kedepankan. Tapi, celakanya, para pemimpin daerah seperti gubernur, walikota, dan bupati, paling tidak senang soal ini. Lihat Gubernur Sutiyoso, sektor infomal diusir-usir, dikejar-kejar, digusur-gusur.
Seharusnya, sektor informal ini kita atur dan kita tata secara baik. Misalnya kaki lima di Jakarta, harus ditegaskan jalan mana yang boleh dan tidak boleh. Begitu juga soal jam dagangnya. Semuanya kan bisa diatur. Jika terlihat kumuh, pemerintah harus memfasilitasikan semuanya dong, tendanya bikin yang bagus. Boleh Anda cari, di negara mana yang tidak ada kaki limanya?
{Lantas, dengan kondisi seperti itu, bagaimana sektor informal bisa hidup?}
Ada sistem perbankan kita yang kurang berpihak kepada rakyat. Mengapa? Karena, mereka lebih suka memberi kredit kepada para ‘konglomelarat’ itu. Eh, begitu dapat, kabur itu golongan ‘konglomelarat’ itu. Mereka bukan konglomerat, tapi ‘konglomelarat, karena sudah dapat duit malah kabur.
Pertanyaan saya, mengapa tidak mempermudah pemberian kredit kepada rakyat kecil. Sementara ekonomi rakyat justru lebih banyak di sektor informal.
{Bagaimana dengan aturan perundangan yang ada?}
Memang ada aturan mainnya. Menurut Depnakertrans, peraturan perundangan yang tidak memadai, akan disempurnakan. Tapi, Anda lihat sendiri, semuanya ditolak, baik oleh kalangan pengusaha maupun serikat-serikat buruh. Bagi saya, jika keduanya menolak, berarti perundangan itu bagus, tidak memihak. Tapi, karena teman-teman di DPR bilang tunda, ya kita tunda saja.
Artinya, kita harus memiliki perangkat peraturan perundangan yang bisa memberikan perlindungan pada pekerja maupun kepada pengusaha. Sehingga, kedua pihak ini tercipta suasana yang kondusif. Hubungan kerja diantara pengusaha dan pekerja yang kami istilahkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
Makanya, jangan banyak protes dulu, baca, apakah sudah ada penyempurnaan atau belum. Karena perundangan ini ditunda, maka apa yang menjadi kesepakatan antara kita dengan DPR itu sudah saya sebarluaskan. Silakan baca, hayati baik-baik, dan kemudian beri masukan kembali kepada kita.
{Apakah pemerintah memiliki standar kualitas bagi tenaga kerja kita yang akan berangkat ke luar negeri?}
Ada beberapa hal yang harus dimiliki WNI yang akan bekerja di luar negeri. Diantaranya, kemampuan berbahasa. Ini penting untuk efektif tidaknya dalam berkomunikasi. Lalu, harus mampu memahami budaya negara yang dituju.
Dan yang tak kalah penting adalah perlindungan pekerja di negara-negara lain. Maka, saya selalu mengatakan bahwa kita perlu adanya Atase Perburuhan di luar negeri. Kita hanya punya Atase Perburuhan di Kuala Lumpur. Idealnya, setiap konjen harus ada perwakilan kita. Di Arab Saudi, hanya satu orang. Di Taiwan dan Hongkong malah tidak ada.
Jadi, jika saya ditanya apa konsep Depnakertrans dalam mengatasi masalah tenaga kerja di luar negeri, segera bentuk Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri.
{Sejauhmana pentingnya badan tersebut?}
Karena yang mengurus badan ini adalah sembilan departemen ditambah aparat Kepolisian. Kita harus sama-sama ada di badan tersebut, karena ini masalah nasional, bukan masalah sektoral. Soal surat-surat, ada di imigrasi, Departemen Kehakiman. Kalau urusan luar negeri, Deplu terlibat. Urusan dokumen dan sejenisnya, Departemen Dalam Negeri terlibat.
Soal dokumen saja, banyak yang nggak benar. Contoh ada satu TKW yang usianya 16 tahun tapi dipalsukan menjadi 26 tahun. KTP-nya Pandeglang, padahal dia orang Wonosobo.
Lalu soal PJTKI. Kalau ada yang bermasalah, akan kita tindak. Tapi, Anda harus tahu, bahwa urusan tenaga kerja itu prosesnya diawali dari daerah, urusan dokumen dan surat-menyurat. Apakah itu urusan Depnakertrans? Apakah kami bisa mengeluarkan KTP? Apakah kami bisa bikin paspor? Apakah kita bisa memberikan perlindungan pekerja di luar negeri? Tidak bisa.
Lalu, soal TKI Ilegal di luar negeri, tidak ada surat-surat kelengkapan, dan sejenisnya, apakah itu tanggungjawab Depnakertrans? Dia punya paspor dan visa turis tapi bekerja di negara tersebut, apakah tanggungjawab kita? Siapa yang harus tanggungjawab? Ada yang menyebut, Depnakertrans cuma bela diri. Saya tanya, ketika mereka menyebrang ke sana, apakah kita tahu? Apakah ketika mereka menjadi wisatawan lalu bekerja di sana, apakah kita tahu?
Jadi, jangan sembarang menyalahkan bahwa semua permasalahan yang ada menjadi urusan dan tanggungjawab Depnakertrans. Kita harus menyamakan pemahaman dulu tentang ini. Jangan main tuding. Soal PJTKI, itu baru urusan kita. Anda boleh tanya sudah berapa PJTKI yang saya cabut izinnya karena tak patuh aturan main yang ada. Sudah ada 34 PJTKI yang saya cabut izinnya. Dan saya tegaskan, tidak ada yang namanya PJTKI ilegal. Semua PJTKI itu legal, ada izinnya. Di luar itu, jangan sebut itu PJTKI, tapi calo.
Tapi, banyak orang bilang itu semua tanggungjawab Depnakertrans. Itu karena, bangsa ini tidak mengerti permasalahan yang ada.
{Tentang badan itu, apakah sudah ada SKB-nya?}
Kita sebenarnya sudah punya Keppres tentang Badan Koordinasi TKI. Tapi, ini nggak jalan. Saya pernah undang untuk membahas itu, yang datang cuma satu menteri.
{Artinya, koordinasi memang belum begitu bagus terjalin…}
Itu Anda yang bilang loh ya? Karena, saya nggak boleh ngomong itu, bisa repot semuanya. Di sini berarti Anda mengerti kebatinan Saya. Jadi, soal itu kita ngomong secara kebatinan saja.
© Copyright 2024, All Rights Reserved