Kemampuan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengontrol pejabat publik, terutama presiden dan Wakil Presiden (Wapres), dalam kampanye pemilihan umum (Pemilu) diragukan. KPU juga mempunyai tugas berat untuk membuat peraturan yang jelas bagi pejabat publik yang berkampanye.
"Persoalan dalam UU Pemilu yang sudah disetujui itu adalah sanksi. Misalnya, jika presiden atau Wapres melakukan pelanggaran dalam berkampanye, apakah KPU bisa menjatuhkan sanksi?" tandas Ketua Umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Sjahrir di Jakarta akhir pekan lalu.
Meski demikian, menurut dia, pejabat publik bisa saja berkampanye saat pemilu. Hanya saja, katanya mengingatkan, aturan tentang kampanye itu yang harus jelas dan tegas.
Menurut pengamat politik Cecep Efendi, sangat sulit melarang pejabat publik yang berasal dari partai politik (Parpol) untuk berkampanye. Yang penting, sambungnya, tata cara kampanye itu yang harus diatur dan ada kejelasan tentang apa saja yang dimaksud dengan fasilitas negara.
Untuk itu, lembaga pengawas pemilu harus benar-benar memiliki kemampuan mengawasi pelaksanaan kampanye. Masyarakat juga diharapkan memiliki peran yang cukup besar dalam mengawasi pelaksanaan kampanye Pemilu 2004. "Mungkin saja KPU akan kesulitan mengontrol kampanye pejabat publik itu. Tapi, saya ya-kin pejabat-pejabat itu sulit untuk melepaskan diri dari kontrol masyarakat," katanya.
Cecep juga mempersoalkan izin cuti bagi presiden dan Wapres jika akan berkampanye. Dia beranggapan, tidak rasional jika Presiden dan Wapres diberi izin cuti.
Dia mengemukakan, masa kampanye parpol hanya satu bulan. Jika presiden dan Wapres cuti, siapa yang akan memimpin pemerintahan. Menanggapi pertanyaan itu, Syahrir berseloroh, "Bukankah selama ini presidennya cuti terus?"
Sedangkan Ali Masykur Musa dari Fraksi Kebangkitan Bangsa mengaku, Pasal 75 UU Pemilu yang mengatur tentang kampanye pejabat publik sarat dengan kesepakatan-kesepakatan fraksi-fraksi di DPR.
Dia mengungkapkan, semula Fraksi Partai Golkar (FPG) dan Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB) menolak klausul pejabat publik boleh kampanye. Namun, saat pemungutan suara di rapat paripurna DPR pada 18 Februari lalu, kedua fraksi itu ikut berdiri bersama Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP).
"Golkar rupanya berkepentingan juga sehingga mereka meminta gubernur, bupati dan walikota juga diperbolehkan kampanye. Sedangkan FPBB karena ada ketua umum mereka, Yusril (Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia-Red)," kata Ali.
Sementara Wapres Hamzah Haz bersedia mematuhi aturan dalam UU Pemilu yang melarang pejabat publik menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. "Kita harus menghormati keputusan yang diambil DPR. Di negara mana pun hal itu logis," kata Hamzah seusai meresmikan renovasi Mesjid Jami Al-Hidayah, Kompleks Setia Bina Sarana, Pondok Ungu, Bekasi Utara, kemarin.
Tentang batasan fasilitas negara, dia berpendapat, hal itu bisa diatur dalam suatu keputusan presiden dengan masukan dari berbagai kalangan, termasuk dari KPU tentang bagaimana seharusnya pejabat publik yang ikut berkampanye.
"Tentunya harus betul-betul objektif, tidak menggunakan fasilitas negara yang ada dan betul-betul kembali ke fitrahnya sebagai partai politik," ucap Hamzah yang juga ketua umum Partai Persatuan Pembangunan.
Tentang cuti bagi pejabat publik yang akan mengikuti kampanye, lanjutnya, bisa dilakukan bergantian agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan.
Dia menyatakan bersedia menanggalkan fasilitas yang selama ini dipakainya selaku Wapres. "Insya Allah. Kita mencari yang halal. Jangan kita mencari sesuatu dengan jalan apa pun," katanya.
Hamzah meyakini bisa berkampanye tanpa pengawalan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) sebagaimana didapatkan sekarang
© Copyright 2024, All Rights Reserved