Boleh dibilang, kepercayaan rakyat Papua terhadap aparat keamanan, baik polisi maupun tentara sangat rendah saat ini. Salah satu penyebabnya adalahnya banyaknya kasus di Papua yang menggantung tanpa penyelesaian serius, jujur dan terbuka, hanya menyuburkan suasana curiga-mencurigai dan saling tuding.
"Penyelesaian secara hukum sejumlah kasus, seperti kasus Abepura dan almarhum Theys H Eluay pun belum ada. Sementara itu terjadi kasus lain, seperti di Timika-Tembagapura yang juga belum jelas hasil penanganannya," kata Uskup Agung Jayapura Leo Laba Lajar pada Konferensi Perdamaian untuk Papua, di Jayapura, Selasa (15/10).
Konferensi itu berlangsung dua hari dengan tema "Mencegah Konflik, Membangun Budaya Damai di Papua."
Dikatakannya, kekerasan adalah musuh perdamaian, dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun juga. Kekerasan yang satu justru akan memancing kekerasan yang lainnya kalau hukum tidak ditegakkan secara konsekuen.
Kecenderungan untuk mendakwa dan menjatuhkan vonis hanya atas dasar prasangka buruk terhadap orang lain, memperkeruh suasana.
Perbedaan aspirasi politik, tambah Uskup Leo lebih-lebih keinginan untuk merdeka, mencuat ke permukaan dengan jelas karena berbagai tindak kekerasan yang membuat masyarakat Papua tidak merasa aman.
Berbagai laporan dari Keuskupan Jayapura sejak 1995 dan dari LSM memberikan gambaran yang cukup jelas tentang rantai kekerasan terhadap masyarakat.
"Di balik semua faktor yang bisa memicu konflik dan merusakkan suasana damai itu, kami melihat suatu hal yang mendasar, yaitu tidak dihormatinya harkat dan martabat manusia yang luhur, beserta hak-hak yang melekat padanya, yang kita kenal sebagai hak asasi," kata Uskup Leo.
Mereka dianggap sebagai suku yang terbelakang dan seakan-akan bisa dirampas begitu saja hak-haknya, termasuk hak untuk hidup.
"Nilai dan martabat seorang manusia, rupanya lebih diukur menurut penampilan lahiriah, misalnya warna kulit, atau menurut kekayaan dan kedudukan sosialnya," kata Uskup Leo.
Pandangan yang meremehkan orang, dan merendahkan harga diri orang lain dengan mudah mendorong orang untuk menonjolkan identitas suku dan kelompoknya sebagai tandingan dan persaingan yang tidak sehat dengan kelompok lain.
Sebelumnya ketika ditanya soal pemekaran Provinsi Papua, Uskup Leo me-nilai hanya akan memunculkan ketegangan dan konflik baru. Pemekaran itu bisa menjadi pemicu konflik karena masyarakat dan DPRD Papua telah menolak pemekaran tersebut. "Kalau pemekaran itu dipaksakan, kami khawatir akan mengundang ketegangan baru di Papua," kata Uskup Leo.
Dikatakannya, saat ini kondisi dan situasi umum masyarakat Provinsi Papua tenang, tetapi ada kekecewaan dan frustrasi yang dipendam.
Hal itu terjadi karena banyak pelanggaran HAM dalam pengusutannya dirasakan oleh masyarakat tidak tuntas, antara lain kasus Abepura dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay.
Dikatakannya, pemekaran Provinsi Papua yang dilakukan pada 1999 dan pelantikan dua pejabat pelaksana gubernur untuk dua provinsi yang baru itu dilakukan secara diam-diam di Jakarta. Tidak dilibatkannya masyarakat daerah dalam proses pemekaran saat itu me- nimbulkan berbagai penafsiran.
"Ada penafsiran pemekaran untuk meredam aspirasi rakyat yang ingin merdeka. Langkah pemerintah pusat saat itu hanya mengadopsi pemikiran, untuk semacam divide et impera, karena tanpa sepengetahuan daerah," katanya.
Sekarang sudah ada Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) yang telah disahkan dan sedang dicoba untuk disosialisasikan oleh pemerintah daerah.
"Saya rasa ini mental yang tidak tepat, kenapa mesti lari ke atas (Jakarta) untuk minta petunjuk. Ini mental feodal," katanya.
Untuk makin mendukung terlaksananya UU Otsus, Uskup Leo mengharapkan kepada pemerintah pusat agar segera membuat peraturan pemerintah yang mengatur lebih konkret tentang pelaksanaan UU tersebut. Ini sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak bingung dan terus bertanya-tanya.
Uskup Leo mengakui, ada persoalan yang cukup serius dan perlu pemikiran yang matang untuk memecahkannya, yaitu mengisi personil dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). Untuk tokoh agama dan perempuan mungkin tidak terlalu sulit. Tetapi untuk tokoh adat ini cukup rumit, karena di Papua terdapat banyak sekali.
Kelambatan pemerintah pusat dalam mendukung penerapan UU Otsus dengan menerbitkan peraturan pemerintah ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah hanya setengah hati dalam memberikan kekhususan bagi Papua. "Tentu hal ini sangat tidak kondusif bagi pembangunan Papua ke depan," kata Uskup Leo seperti dikutip Suara Pembaruan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved