Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) meminta kepada polisi untuk mencabut status tersangka terhadap Ahmad Taufik, wartawan majalah Tempo yang terlibat dalam penulisan berita bertajuk {Ada Tomy di Tenabang} yang mencemarkan nama baik Tomy Winata.
Menurut AJI, melalui Ketua Umumnya, Ati Nurbaiti, penetapan status tersangka semakin menunjukkan ketidaktahuan polisi terhadap Undang-undang Pers. “Sebagai penulis, Ahmad Taufik tidak bisa dijadikan tersangka karena dirinya bukan penanggungjawab redaksi dan bidang usaha,” ungkap Ati Nurbaiti.
Menarik? Memang, pasalnya Bambang Harymurti (BHM) sudah terlebih dahulu dijadikan tersangka. Baru kemudian Ahmad Taufik. Ada apa? Bukankah BHM bisa mengambil alih seluruh tanggungjawab hukum, baik untuk individu yang terlibat atau institusi redaksionalnya, sejak dimulainya perencanaan, penulisan, hingga berita itu siap dicetak dan setelah diedarkan. Namun, yang namanya perbuatan pidana tidak bias diwakilkan oleh siapapun.
Sudahkan BHM mengambil alih itu semua? Ini yang tidak diketahui. Sebab seluruh prosesnya ada di tangan penyidik dan yang tahu adalah mereka yang diperiksa saja. Seperti apa sebenarnya pengakuan dan keterangan yang disampaikan mereka yang disidik kepada pihak kepolisian? Apa yang diungkapkan BHM, Ahmad Taufik, Indra, Juliantoro, Bernarda, dan Cahyo soal proses pencarian dan pembuatan berita itu? {Wallahulam}.
Yang pasti, seperti yang diungkapkan Ahmad Taufik dalam “selebaran”nya yang dikirim keseantero jagad, yang kemudian dikutip oleh berbagai pihak, Taufik sudah mengungkapkan kronologis pembuatan berita {Ada Tomy di Tenabang—lihat INI DIA, ISI DAPUR TEMPO}.
Memang, problematika jurnalisme “ala” TEMPO, khususnya dalam proses pembuatan berita {Ada Tomy di Tenabang} menimbulkan kontroversi dimana-mana dan menimbulkan tanda tanya besar. Adakah fakta inti (Proposal Renovasi) yang menjadi syarat sebuah berita layak diturunkan? Benarkah materi wawancara Tempo dengan Walikota Jakarta Pusat, Khosea Petra Lumbun seperti yang ada di dalam berita itu? Hanya majalah Tempo yang tahu saat ini.
Nah, kontroversi-kontroversi yang demikian, sungguh tidak nikmat untuk ditelanjangi. Apalagi untuk majalah sebesar Tempo. Masihkah majalah Tempo menganut elemen kebenaran, seperti yang diungkapkan Bill Kovach dan Tom Rosentiel, pemikir jurnalisme terkemuka dari Amarika Serikat dalam bukunya {The Elements of Jurnalism}? {(Simak, Andreas Harsono: TEMPO vs TOMY WINATA, dalam majalah TRUST, Edisi 24 Tahun 1, 19-25 Maret 2003 halaman 12 dan 13.}
Jadi, salahkan jika masyarakat mencari fakta kebenaran dalam sebuah karya jurnalistik? Tentu tidak. Masyarakat pekerja Pers punya hak yang dilindungi undang-undang, masyarakat yang menjadi objek karya masyarakat Pers, juga memiliki hak yang dilindungi undang-undang. Tak ada yang diistimewakan di depan hukum.
© Copyright 2024, All Rights Reserved