Vonis Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Tanjung balai Karimun yang menghukum tujuh kapal, dianggap terlalu ringan oleh sejumlah kalangan. Padahal, apa yang diputuskan hakim sudah berdasarkan tuntutan Jaksa serta fakta-fakta di dalam persidangan. Sayangnya, ketidakpuasan atas vonis tersebut disalurkan melalui jalur yang salah, bukan melalui jalur hukum. Bilakah supremasi hukum tidak dilecehkan?
Simak saja kronologis ketidakpatuhan kita terhadap hukum, khususnya soal tujuh kapal keruk itu. Melalui surat bernomor W.4.Dg.HN.01.10-1695 dan 1696 yang dikeluarkan pada tanggal 21 Oktober 2002, tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang tanggal 9 Oktober 2002 dengan register perkara pidana No.34 dan 35/PID.S/2002/PN.TPI, {(anmaning)}, yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang, maka Pengadilan Negeri Tanjung Pinang memerintahkan, sesuai dengan amar putusan yang menyangkut barang bukti untuk segera dilaksanakan dan diserahkan/dikembalikan kepada pemiliknya. Disamping itu, pengadilan juga memerintahkan semua pihak yang menyebabkan tidak dilaksanakannya eksekusi tersebut untuk mematuhi putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang tersebut.
Sementara melalui surat bernomor W.4.Dg.HN.01.10-1697 yang dikeluarkan pada tanggal 21 Oktober 2002, tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang di Tanjung Balai Karimun tanggal 9 Oktober 2002 dengan register perkara pidana No.29/PID.S/2002/PN.TPI-TBK,{(anmaning)}, yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Balai Karimun, juga bermaksud sama dengan dua surat diatas.
Dengan demikian, setelah dikeluarkannya surat {anmaning} tersebut, tidak ada alasan bagi siapapun untuk tetap menahan barang bukti berupa kapal keruk, sesuai dengan pokok perkara yang ada.
Dan pada tanggal 24 Oktober 2002, Kejaksaan Negeri Tanjung Balai Karimun menulis surat kepada Dan Lanal Tanjung Balai Karimun yang memberitahukan agar mengembalikan barang bukti yang ada.
Anehnya, belum ada tanggapan dari Dan Lanal setempat dan belum ada tanda-tanda bahwa barang bukti berupa kapal keruk itu akan dikembalikan.
Maka, dari posisi hukum terhadap kapal keruk tersebut, secara jelas bahwa putusan PN Tanjung Pinang tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sementara, bila memang benar, permintaan Ketua TP4L kepada Kepala Staf Angkatan Laut untuk tetap menahan barang bukti berupa kapal keruk tersebut, jelas merupakan tindakan yang tidak berdasarkan hukum bahkan melawan keputusan pengadilan.
Sebab, dasar hukum untuk menjerat kapal-kapal keruk itu secara kumulatif, seperti yang digembor-gemborkan itu sangat lemah. Bahkan hampir tidak ada. Bila tidak ingin kita sebut, mencari-cari dasar hukum. Misalnya, dari sisi Kepabeanan hasil penyelidikannya tidak terbukti adanya pelanggaran. Sementara dari sisi Tindak Pidana Penyelundupan juga tidak terbukti. Bahkan menurut hasil rapat koordinasi penyidikan pasir laut pada tanggal 22 Oktober 2002 di Kasatserse Polres Kepri Barat, disimpulkan tidak bukti yang cukup untuk melakukan penyitaan terhadap kapal keruk tersebut.
Bila ingin dikait-kaitkan pada sisi lingkungan hidup, kapal-kapal keruk tersebut kan dipakai oleh perusahaan yang memiliki konsesi tambang pasir laut yang sudah memiliki Amdal. Begitu juga dari aspek pertambangan, perusahaan yang menggunakan kapal-kapal keruk tersebut sudah memiliki izin-izin lengkap untuk melakukan penambangan.
Dengan tetap ditahannya kapal-kapal keruk, yang status hukumnya sudah diputuskan oleh pengadilan, selain ini sebagai sebuah fakta yang melecehkan hukum, juga telah dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia (HAM), karena para awak kapal yang “terpenjara” diatas kapal itu terkatung-katung di laut dan mengalami tekakan psikologis yang tidak menentu.
Maka, diatas kepentingan semua pihak, seharusnya elemen bangsa ini mampu menjaga kredibilitas supremasi hukum di Republik ini. Tentu saja, pemerintah harus memberikan contoh untuk setiap warga negaranya. Kalau tidak, Indonesia akan dicemoohkan dunia internasional.
Sebab, bila putusan pengadilan ini tidak mampu dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak, apalagi aparat pemerintah, bisa jadi reputasi Pemerintah Indonesia kembali tercoreng di dunia internasional. Apalagi bila para pemilik kapal itu melakukan pembuktian terbalik dengan mengungkapkan data-data yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersalah, seperti apa yang dituduhkan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved