Saat ini masih banyak warga negara Indonesia yang belum bisa menerima konsep keislaman dan keindonesiaan sebagai satu kesatuan. Akibatnya terjadi konsep berpikir dengan standar ganda yang diterapkan sebagian besar masyarakat.
Beberapa bagian masyarakat sangat meninggikan hukum Islam tanpa mengindahkan hukum yang tertera dalam UUD 1945. Sedangkan sebagian yang lain bertindak sebaliknya. Karena itu, perlu dilakukan sinkronisasi antara hukum Islam dan UUD 1945 demi mencapai kehidupan beragama dan bernegara yang selaras.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dalam temu wicara MK dengan Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), di Jakarta, Kamis (29/3) malam. "Keislaman dan keindonesiaan harus berjalan selaras," katanya.
Menurut Jimly dualisme konstitusi yang dapat menimbulkan gesekan apabila masing-masing pihak saling memaksakan kehendak. "Jadi kuncinya bagaimana memahami dua konstitusi tersebut," katanya.
Pemahaman kedua konstitusi itu, menurut Jimly, harus dipahami sebagai proses yang tidak terpisahkan untuk menciptakan warga negara Indonesia yang beragama. "Ibaratnya hukum Islam di tangan kanan, konstitusi di tangan kiri," kata Jimly menambahkan.
Dicontohkannya, kehidupan jaman Nabi Muhammad SAW adalah salah satu bentuk sinkronisasi antara agama dan kehidupan bernegara. Hal itu terwujud dalam ketaatan umat dalam menjalankan ajaran Nabi sekaligus melaksanakan Piagam Maddinah yang dimaknai sebagai kontrak sosial antar umat.
Menanggapi usulan itu, Ketua Pucuk Pimpinan Muslimat NU, Khofifah Indarparawansa mengatakan sinkronisasi antara hukum Islam dan hukum negara adalah hal yang mutlak dilakukan. "Kami sejalan dengan usulan tersebut," katanya.
Menurut dia, sinkronisasi itu bisa dilakukan dari segi substansi, sehingga akan timbul keselarasan pemahaman hukum Islam dan UUD 1945.
Khofifah menegaskan pihaknya tidak sepakat dengan konsep sinkronisasi institusi antara agama dan negara yang bisa berujung pada bentuk negara berbasis agama.
Lebih lanjut Khofifah mengatakan gesekan yang selama ini terjadi disebabkan karena ada dua kutub pola pikir yang berseberangan, yaitu pihak yang berpaham sekuler dan pihak yang menginginkan institusionalisasi agama kepada negara.
Sedangkan yang paling ideal, menurut dia, adalah menjadikan agama sebagai ruh dalam kehidupan bernegara tanpa mengubah institusi negara itu sendiri.
Ruh yang dimaksud antara lain adalah semangat keadilan, kejujuran, dan toleransi yang diadopsi dalam berbagai bentuk aturan perundang-undangan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved