Memang enak jadi wartawan. Sudah diperlakukan sebagai warga kelas satu dengan berbagai macam fasilitas yang tak bakal diperoleh anggota masyarakat lainnya, wartawan juga bebas mencaci maki orang.
Kebebasan pers jadi tameng disini. Kalau orang yang dimaki melawan, wartawan bisa berlindung dengan bermacam dalih. [Cover both side] lah, silakan pakai hak jawab lah atau bentuk arogansi lainnya, sementara korbannya, cuma bisa mengelus dada. Kalau begitu, masih layakkah sebutan pilar demokrasi bagi pers?
Tak berlebihan memang kalau para jurnalis menjadi besar kepala dan kerap kebablasan. Malah muncul kesan, hanya pers yang boleh menafsirkan kebenaran. Parahnya, [privelege] yang diberikan masyarakat bagi para wartawan kerap disalahgunakan secara membabi buta. Ujungnya, berita yang dimuat berbagai media massa seringkali bukan pengungkapan suatu fakta, tapi kemasan opini. Kacaunya, seringkali opini tersebut bukan murni ekspresi pikiran sang wartawan, tapi pesanan dari berbagai pihak.
Ujungnya, banyak orang yang kemudian sakit hati dan membenci para jurnalis. Banyak kasus membuktikan tindak ‘kejahatan’ media massa terhadap anggota masyarakat. Data pengaduan yang masuk ke Dewan Pers menyebut, sepanjang tahun 2002 sedikitnya ada 200 kasus pemberitaan yang tidak benar. Namun diperkirakan, angka yang sebenarnya lebih besar lagi. Pasalnya, banyak somasi atau permintaan hak jawab yang tidak ditanggapi oleh media bersangkutan, atau bahkan oleh dewan pers.
Kasus tudingan keterlibatan Sutiyoso dalam kasus Hotel Hilton dan Perumahan Pantai Indah Kapuk, misalnya. Sayangnya, Sutiyoso enggan menanggapi pemberitaan negatif tersebut. Yang paling tragis adalah tudingan negatif yang dialamatkan ke Adnan Buyung Nasution. Pengacara senior tersebut mengaku dua kali ‘dipukul’ MBM Tempo.
Keluhan Adnan Buyung yang disampaikan ke Dewan Pers itu bermula dari tidak dimuatnya bantahan pemberitaan atau Hak Jawab tanpa permintaan maaf dari Tempo, pada kasus Bank Bali yang tanpa konfirmasi memberitakan bahwa Rudi Ramly dibawa oleh Adnan Buyung Nasution menemui Presiden Habibie. Kali kedua, Buyung disebut Tempo, mengajak kyai ke rumah Jenderal Wiranto setelah rapat dengan para jenderal di Jalan Lautze, Kantor Indemo. Dalam suratnya, Adnan Buyung mengatakan ‘kebebasan bukan berarti keleluasaan tanpa batas’, karena Tempo keliru memahami kemerdekaan pers.
Berkaitan dengan ‘kebebasan bukan berarti keleluasaan tanpa batas’, Buyung menjelaskan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Tempo edisi 20-26 Mei 2002, rubrik Liputan Utama [The Untouchables], halaman 108-125; dan rubrik Opini Sjamsul Nursalim [The Untouchables], halaman 21, yang merupakan klien dari Adnan Buyung Nasution & Partners.
Buyung menangkap pemberitaan Tempo telah melakukan [trial by the press], karena Tempo bertindak sebagai jaksa, saksi dan hakim untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada kliennya. Oleh sebab itu, Buyung menghimbau Dewan Pers untuk memikirkan, apakah sebuah media bisa dengan mudahnya berlindung di balik kekosongan pengaturan kwantitatif berita berimbang, porsi hak jawab dan makna kebebasan pers, untuk sebuah pemberitaan yang amat merugikan nama baik dan kehormatan seseorang, dan berlangsungnya [the due process of law?]
Kasus lainnya menimpa LSM Humanika. Melalui ketuanya, Bursah Zarnubi, Humanika mengadukan majalah Tempo ke Polda Metro Jaya. Dalam pengaduannya, Bursah menyatakan Tempo telah melanggar pasal 310 KUHP ayat 1 sampai 3, pasal 311 ayat 1, pasal 318 ayat 1 dan pasal 319 KUHP. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan menyerang kehormatan atau nama dengan menuduh sesuatu hal yang maksudnya supaya diketahui umum. Pencemaran nama baik, sangkaan palsu dan penghinaan.
Menurut Bursah, pihaknya keberatan dengan pemberitaan Tempo edisi 25 Nopember 2001 yang menuding Humanika dengan berbagai tuduhan, mulai dari soal peledakan sampai Humanika menerima proyek dari BPPN. Menurut Bursah, Humanika mengadukan Tempo ke polisi karena pemberitaan majalah tersebut menggunakan nara sumber yang tidak jelas, beritanya memojokkan, dan memakai isu yang sensitif. Akibatnya, LSM ini merasa dicemarkan dan membuat kegiatan operasionalnya tersendat. “Bagaimana tidak tersendat, tuduhan itu masyarakat menganggap kita sebagai kelompok separatis garis keras,” tandas Bursah.
Rendahnya kualitas pelecehan pers terhadap masyarakat kian menyeruak. Hal itu, juga diakui oleh Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers. Dalam catatan pers tahun 2002, Atmakusumah menyebut, dalam kurun waktu empat tahun terakhir, pers Indonesia menjadikan kebebasan pers sebagai penyulut masalah, penyebar kabar angin serta sensasi, dan pengobar kontroversi sehingga pers tidak kondusif untuk menunjang proses transisi demokrasi. “Harus diakui, masih terdapat pers yang tidak sepenuhnya taat pada kode etik dan tidak profesional,” tulis Atmakusumah.
Atmakusumah tidak sendiri, Rosihan Anwar dan Wina Arnada, dua tokoh pers nasional sepakat, sekitar 80 % wartawan telah melakukan tindak pemerasan. Bahkan, anggota DPR Djoko Susilo dalam diskusi Kebebasan Pers, Rezim Kerahasiaan, dan Kebebasan Informasi di Teater Utan Kayu, Jakarta, 12 September 2001 mengemukakan "kebebasan pers yang ada kini sudah kebablasan". Akibatnya, [mood] di DPR saat ini lain, mereka menyimpan dendam terhadap pers. Ada yang merasa dipelintir, dipojokkan, atau merasa tidak pernah diwawancarai. Jumlah anggota DPR yang berniat memperjuangkan UU Kebebasan Memperoleh Informasi tidak lebih 10 persen dari jumlah total anggota DPR.
Menurut Samsul Wahidin, Direktur Program Paska Sarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, masyarakat juga tidak bisa sembarangan menyalahkan masyarakat yang menyerang atau menduduki kantor media. Alasan yuridisnya ialah lemahnya klausul pertanggungjawaban pers. Kelemahan tersebut berkisar pada sulitnya aparat menerapkan secara konkret siapa yang harus memikul tanggung jawab atas sajian pers bermasalah.
Dalam kasus Tempo Vs Tommy Winata, papar Samsul, pers berlindung dibalik koridor hukum dan etika pers. Namun masyarakat sudah menilai adanya arogansi pers terhadap masyarakat. Salah satu bentuk arogansi pers yang lain adalah tudingan terhadap masyarakat yang terluka justru dianggap jahil dan arogan. Kalau sudah demikian, ujung permasalahan hanya bisa diselesaikan secara hukum.
Perkembangan pasar mungkin bisa dijadikan kambing hitam dari arogansi pers terhadap masyarakat. Dalam dunia globalisme kini, ketika budaya massa [(mass-culture)] berkembang marak tampak kecenderungan bertambah besarnya dominasi [market journalism] dibanding [duty journalism. Market journalism] atau jurnalisme pasar melayani apa yang diinginkan publik, sedangkan [duty journalism] atau jurnalisme tugas menyajikan apa yang dibutuhkan khalayak ramai.
Mungkin jurnalisme pasar ini yang dilakukan ketika Majalah TEMPO menulis berita tentang Tomy Winata dan Pasar Tanah Abang. Dan Tomy Winata pun menambah daftar panjang yang menjadi korban pemberitaan Majalah TEMPO. Barangkali, Majalah TEMPO perlu diingatkan kembali akan isi deklarasi jurnalis sedunia, hanya menyampaikan kebenaran dan bukan fitnah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved