Industri pengolahan kakao tengah mengalami masa krisis dalam 3 tahun terakhir ini. Bisnis ini tak semarak lagi. Penurunan produksi dan pasokan kakao, bahkan membuat sebagian perusahaan industri olahan memutuskan gulung tikar alias berhenti beroperasi.
Diungkapkan Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang, saat ini sudah ada 13 perusahaan pengolahan kakao yang berhenti beroperasi. Total penurunan kapasitas terpasang industri olahan kakao sebanyak 385.000 ton. Kini yang tersisa tinggal 560.000 ton yang dikuasai 8 perusahaan. “Salah satu perusahaan yang tak lagi beroperasi adalah PT Kalla Cocoa Industry milik Wakil Presiden Jusuf Kalla," ujar dia kepada politikindonesia.com, di Jakarta, Kamis (14/07).
Dikatakan Zulhefi, krisis pasokan kakao di dalam negeri ini diprediksi bakal berlanjut. Pasalnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para petani dan pengepul lebih senang menjual hasil panen kakao ke pasar ekspor ketimbang ke industri pengolahan lokal. Harga ekspor lebih tinggi, tapi di sisi lain industri lokal ingin membeli dengan harga lebih rendah.
"Kini, Indonesia menghadapi krisis biji kakao. Indonesia sudah beralih dari negara eksportir menjadi importir biji kakao. Tahun ini diperkirakan impor biji kakao melonjak tinggi, karena produksi dalam negeri terus menurun," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman menambahkan, krisis pasokan kakao terjadi karena produksi biji kakao di Indonesia saat ini hanya 250 kilogram (kg) per hektare (ha) dari total luas kebun kakao sekitar 1,4 juta ha. Padahal, sebelumnya produksi biji kakao bisa mencapai 500 kg per ha.
“Itu disebabkan perkebunan yang sudah tua sehingga produktivitas rendah. Padahal kalau dari total luas kebun kakao itu tumbuh semua, diperkirakan produksi biji kakao lokal tahun ini sebanyak 350.000 ton. Sedangkan kebutuhan industri mencapai 850.000 ton. Alhasil, industri olahan kakao harus mencari sebagian besar pasokan bahan baku kakao dari impor," ujarnya.
Ironisnya, lanjut dia, pemerintah seolah abai terhadap komoditas ini. Buktinya, dalam pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016, anggaran pengembangan tanaman kakao dipangkas dari Rp1,2 triliun menjadi Rp325 miliar. Sehingga opsi untuk impor pun juga semakin sulit dilakukan. Apalagi sekarang kondisi di seluruh wilayah propinsi di Sulawesi mengalami penurunan produksi biji kakao yang cukup drastis.
"Selain dikenai bea masuk sekitar 5 persen, negar eksportir kakao dunia, seperti Pantai Gading dan Ghana juga mulai mengurangi produksi biji kakao. Karena sebagian petani di negara itu sudah mengalihkan lahannya menjadi kebun kelapa sawit. Alhasil, pasokan kakao dunia berkurang dan buyer memburu kakao, termasuk dari Indonesia," paparnya.
Menanggapi hal itu, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir mengatakan, pemangkasan anggaran program kakao berkelanjutan ini diharapkan tidak berdampak luas pada penurunan produktivitas kakao di Indonesia. Karena penurunan signifikan program kakao berkelanjutan disebabkan pihak DPR dan Pemerintah memandang kakao bukan sebagai komoditas perkebunan yang strategis dalam perekonomian nasional.
"Padahal kontribusi kakao terhadap devisa ekspor mencapai USD1,3 miliar dan mengangkat taraf hidup kesejahteraan petani sebanyak 1,6 juta kepala keluarga," katanya.
Dipaparkan, salah satu contoh ketidakpahaman DPR dan pemerintah terlihat dari program pengembangan kakao berkelanjutan yang tidak lagi fokus pada sembilan provinsi penghasil kakao, tapi DPR meminta dikembangkan di 25 provinsi.
"Jadi dana kakao berkelanjutan terbagi ke banyak provinsi dan tidak efektif mendorong pengembangan kakao di sentra-sentra produksi sejak tahun 2009," tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved