Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang telah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU) yang lebih tinggi. Pendapat tersebut dikemukakan Mahkamah Agung (MA) menanggapi permohonan uji materiil terhadap perda tersebut oleh tiga warga Tangerang.
Dengan ditolaknya uji meteriil tersebut, maka Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran tetap berlaku di Kota Tangerang. Juru bicara MA, Djoko Sarwoko, di Gedung MA, Jakarta, Jumat (13/4), mengatakan bahwa putusan itu diucapkan oleh majelis hakim yang diketuai Ahmad Sukarja dan beranggotakan Imam Soebechi dan Marina Sidabutar pada 1 Maret 2007. "Proses pembentukan Perda Nomor 8 Tahun 2005 telah melalui proses yang cukup lama dan melibatkan semua unsur masyarakat," ungkap Djoko.
MA, lanjut dia, juga menilai Perda Kota Tangerang itu merupakan implementasi politik dari Pemkot Tangerang, sehingga belum termasuk materi yang dapat diujimateriil. Tiga warga Tangerang pemohon uji materiil tersebut adalah Lilis Maemudah, Tuti Rahmawati, dan Hesti Prabowo.
"Perda itu telah melalui proses politik, sehingga sudah menjadi wewenang eksekutif dan legislatif," kata Djoko lebih jauh.
Meski pemohon dinilai memiliki kedudukan hukum ({legal standing}) untuk mengajukan uji materiil, MA menilai dalil yang diajukan oleh para pemohon uji materiil tidak beralasan.
Dalam permohonannya, pemohon meminta, agar Perda tentang pelarangan pelacuran dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dalam pasal 53 disebutkan percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana, apabila maksud akan melakukan kejahatan itu sudah nyata dengan adanya permulaan membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal yang tidak tergantung kepada kehendaknya sendiri.
Sedangkan, menurut pemohon, Perda Kota Tangerang melawan prinsip-prinsip KUHAP, karena razia yang dilakukan Pemkot Tangerang menimbulkan penangkapan dan penahanan berdasarkan anggapan atau persangkaan.
Pasal 4 ayat 1 Perda tersebut menyebutkan setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia atau mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk atau kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau di tempat-tempat lain di daerah.
Pada ayat 2 pasal yang sama diatur bahwa siapa pun dilarang bermesraan, berpelukan dan atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.
Selanjutnya, dalam pasal 6 diatur terhadap orang yang terjaring razia, karena melanggar ketentuan pasal 4 Perda tersebut, walikota atau pejabat yang ditunjuk mengembalikan yang bersangkutan kepada keluarganya atau tempat tinggalnya melalui Kepala Kelurahan untuk dibina.
Pemohon juga beranggapan Perda yang mulai berlaku pada 23 November 2005 itu juga bertentangan dengan UU lainnya, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved