Sungguh menyedihkan. Peristiwa berdarah kembali terjadi di negeri ini. Puluhan korban berjatuhan, Rabu (11/09/2002), mengiringi hingar bingar terpilihnya kembali Sutiyoso sebagai gubernur DKI Jakarta periode 2002-2007. Disamping isu politik uang yang juga menodai pemilihan gubernur DKI itu.
Politik uang memang bakal terus menggema. Puluhan miliar rupiah dikabarkan telah dihabiskan untuk memenangkan mantan Pangdam Jaya itu. Tapi tampaknya, soal ini bakal terbentur pembuktian. Politik uang, memang diibaratkan seperti kentut. Baunya bisa tercium tapi tak bisa ditelusuri dari mana asalnya.
Dari politik uang, kita perlu bicara soal korban. Itulah yang nyata terjadi di lapangan. Sedikitnya tercatat 18 orang menderita keracunan makanan,13 orang terkena peluru karet, 6 orang terkena tembakan gas air mata, dan 20 orang delegasi demonstran dipukuli aparat.
Para demonstran yang sejak pagi hari secara bergelombang memblokir jalan Kebun sirih dan jalan Medan Merdeka Selatan berkisar 5000-an orang. Mereka datang dari berbagai elemen, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa ( BEM ) se Jabotabek, Solidaritas Anak Betawi (Sabet ), Kite Betawi Anti Sutiyoso (Tebas), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Rakyat Bersama (Gebrak), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jakarta, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) dan Komunike Bersama Warga Jakarta.
Ketegangan antara aparat kepolisian dengan massa pengunjuk rasa terjadi saat massa anti Sutiyoso bersikeras menembus Balai Kota dan Gedung DPRD DKI yang melakukan pengahadangan kendaraan taktis yang membawa rombongan anggota DPRD, bahkan sebagian demonstran menaiki dan beradu tarik dengan polisi. Bentrokan tidak terelakan lagi saat pintu gerbang berhasil dirubuhkan para demonstran.
Sebenarnya kekecewaan masyarakat terhadap pencalonan Sutiyoso sebagai Gubernur DKI periode 2002-2007 mulai muncul ketika dikeluarkan rekomendasi oleh DPP PDIP yang ditandatangani oleh ketua umum Megawati dan Sekjen Sutjipto untuk mendukung Sutiyoso.
Padahal dalam rekomendasi Komnas HAM Sutiyoso disebut-sebut sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam peristiwa penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang dikenal sebagai peristiwa berdarah Sabtu kelabu 27 Juli 1996.
Alasan utama mengapa Megawati Soekarnoputri mendukung Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2002-2007 adalah masalah keamanan. Faktor keamanan dimaksud, tentu saja adalah kelangsungan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI.
Ketua Umum Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat ( Balitbangpus ) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-P ) Kwik Kian Gie, dalam pembelaannya menyatakan, faktor rasional PDI-P mendukung Sutiyoso adalah sisa masa jabatan Megawati selama 1,5 tahun hingga 2004.
Apalagi, tahun 2003 mendatang situasi politik dipastikan akan menghangat menjelang pelaksanaan pemilihan umum pada tahun berikutnya. Sebagai seorang pensiunan letnan jendral TNI, dengan berbagai jabatan yang pernah diemban, dari Komandan Jendral Kopasus hingga mantan Pangdam Jaya yang dijabatnya saat meletusnya peristiwa 27 Juli dia tentu akan dengan mudah “memerintahkan” rekan dan “yuniornya” di tubuh militer jika Ibu Kota terancam keamananya.
Padahal Sutioyoso dianggap gagal dalam mengamankan Ibukota saat terjadi peristiwa Mei 1998. Itulah yang mengherankan masyarakat Jakarta kenapa Megawati mendukung Sutiyoso. Namun, buat PDI-P hal tersebut nampak sebagai {bargain} politik mereka saja. Sama halnya mereka kemesraan PDI-P dengan Partai Golkar dan PPP yang kini bahu membahu mempertahankan kemapanannya.
Terlepas dari persoalan kepentingan politik Megawati termasuk kemesraannya denganmiliter – begitu banyak pekerjaan rumah ( PR ) bagi Sutiyoso. Apa yang dirasakan masyarakat Ibu Kota saat ini adalah semakin amburadulnya kenyamanan dan kondisi Jakrta,sama sekali tidak ada langkah yang kongkrit Pemerintah Peropinsi DKI Jakarta untuk menata keberadaan pekerja sektor informal yang sebagian besar korban pemutusan hubungan kerja.
Persoalan-persoalan besar lain, seperti buruknya pelayanan transportasi,semakin terbatasnya ruang publik, hingga tidak adanya penanganan yang baik untuk mengatasi banjir di wilayah Jakarta, dan semakin rawannya kondisi keamanan Ibu Kota, hanya beberapa contoh PR yang tidak diselesaikan oleh Sutiyoso.
Sebaliknya proyek-proyek yang tidak menyentuh kepentingan rakyat bisa terselenggara dengan mwengeluarkan dan yang cukup besar. Apabila hal ini tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah, akan menjadikan bumerang bagi kepemimpinan Megawati. Karena aksi-aksi penolakan Sutiyoso merupakan sasaran awal, target akhirnya adalah menggoyang kepemimpinan Megawati.
© Copyright 2024, All Rights Reserved