Kondisi pemulihan krisis di Indonesia tampaknya semakin tak tentu arahnya. Dari mulai kehidupan politik, keamanan, sosial, hukum, sampai ekonomi. Ada yang mengatakan, hal itu disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum dan terjaminnya rasa keamanan. Berikut pandangan Malkan Amin,
Anggota DPR RI, yang juga Ketua Umum Gapeknas, kepada Majalah Pilarbisnis dan Politikindonesia.com:
{Komentar anda mengenai pernyataan tersebut?}
Itu tidak salah. Tapi, yang jelas, bukan hanya dua faktor tadi sebagai penyebabnya. Karena, kita punya negara ini sakitnya sudah kronis. Ibarat manusia, semua penyakit berat seperti jantung, kolesterol tinggi, ginjal, dan sebagainya ada di sini. Bahkan, tidak mustahil penyakit-penyakit tadi pun melebar ke penyakit lain seperti panu, kadas, dan kurap.
Menurut saya, penyakit bangsa ini yang demikian kompleks diawali oleh satu perubahan satu situasi politik. Jangan lupa, kita harus mengakui sebuah fakta, di zaman Soeharto, yang namanya stabilitas keamanan itu sangat terjaga dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi kita pernah mencapai tujuh persen. Namun, dengan kondisi normal, baik, dan fit itu, maka ‘tenaga’ biasanya dipergunakan dengan tanpa perhitungan, yang berujung pada kondisi seperti sekarang. Itulah yang terjadi di masa Orde Baru.
Begitu terjadi perubahan situasi politik, sangat mempengaruhi pula pada semua sendi-sendi kehidupan lainnya. Dari mulai sendi-sendi sosial kita, pertahanan dan keamanan, hukum, sampai ekonomi, dibuatnya rapuh. Muncullah kekuatan-kekuatan yang berakar pada masyarakat (LSM) yang berniat membawa aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Namun, saking banyaknya kelompok-kelompok seperti itu yang banyak pula yang keluar dari format atau bingkai tatanan hukum, akhirnya nilai-nilai demokrasi dan reformasi yang seharusnya ada di tengah masyarakat yang menginginkan perubahan, sudah tidak kita dapatkan lagi.
{Apakah itu termasuk pula di lembaga-lembaga politik yang terorganisir rapi, seperti lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif?}
Ya. Termasuk organisasi politik yang terorganisir rapi, ada AD/ART, ada berbagai macam peraturan, sampai Undang-Undang, berani keluar dan menginjak-injak tatanan dan rambu-rambu hukum yang semestinya dihormati bersama.
Jadi, saya bisa simpulkan, yang hilang dan rusak secara total dari diri kita semua adalah ‘Etika’. Hal itu disebabkan karena moral yang dangkal. Karena, jika kita memiliki moral, pasti yang namanya etika itu akan melekat erat di dalamnya.
{Contoh kongkritnya?}
Tak usah jauh-jauh, di DPR saja. Anda tahu, yang namanya politik itu sebenarnya menonjolkan nilai-nilai persahabatan. Namun, yang terjadi sekarang justru sebaliknya, lebih menonjolkan nilai-nilai permusuhan dan perselisihan. Memang, masih ada pemimpin-pemimpin nasional kita yang masih memiliki etika. Namun, sebagian besar, sudah tak memiliki etika lagi.
Karena ini yang sudah terjadi, maka tadi saya mengibaratkan seperti manusia yang sudah terjangkit penyakit kronis. Kalau sudah bagian dalam yang rusak, maka bagian luar pun akan mudah terjangkit penyakit. Kalau sudah begini, apa kita bisa mengharapkan ‘manusia’ seperti itu dapat melakukan sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara?
Contoh lain adalah soal BUMN. Kondisi yang baik saat itu dengan konsep dan program privatisasi, hanya karena Tanri Abeng dikelompokkan sebagai produk Orde Baru, maka semuanya dibumihanguskan. Apakah kondisinya sekarang lebih baik? Masalahnya kan hanya karena itu ‘berbau’ Orde Baru, jadi tak usah dipakai.
Padahal, baik yang dulu maupun sekarang sebenarnya masih merupakan produk Orde Baru, itu kalau kita mau mengikuti alur pikiran kalangan yang mengaku dirinya reformis. Kalau secara fisik, kita semua ini masih bagian dari Orde Baru. Bedanya hanya ada yang ambil bagian saat Orde Baru, dan ada yang baru ambil bagian sekarang di era reformasi.
Makanya saya sangat tidak setuju jika Orde Baru digolongkan pada satu generasi. Karena ini hanya berkaitan dengan cara dan pola berfikir, bukan bagian dari satu generasi. Siapa yang mampu merubah pola dan cara berfikirnya dari Orde Baru, itulah yang dinamakan reformis.
{Lantas, solusi apa yang Anda tawarkan dengan kondisi seperti itu?}
Sebelum bicara solusi, saya cuma mau mengajak semua pihak dan elemen di lapisan masyarakat untuk menyadari hal itu. Apakah bedanya zaman Orde Baru dengan reformasi sekarang? Banyak pihak (LSM) berduyun-duyun ‘menyerbu’ dana-dana seperti KUK, KUT, JPS, dan sebagainya. Dari catatan yang saya miliki, kondisi saat ini justru lebih parah.
Jadi, lapisan masyarakat mana yang sekarang masih dapat dipercaya? Di DPR sendiri praktis tidak dapat dipercaya dengan adanya indikasi kuat sogok-menyogok di dalamnya. Praktik KKN juga masih berlangsung di pemerintahan. Bahkan, semuanya sudah terkontaminasi hal-hal seperti itu, bahkan cenderung lebih parah.
Semua sudah kronis. Susah jika harus menyebutkan siapa yang layak disalahkan dan siapa yang pantas mengemban tanggungjawab akan kondisi seperti itu. Jadi, jika kita semua mau baik, kita harus segera menyadari kondisi ini semua secara jernih.
Dari kondisi seperti itu, yang lahir adalah pengrusakan hukum, keamanan dan ketertiban, moral, ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan pengrusakan sosial. Pokoknya, pengrusakan semua sendi-sendi kehidupan di masyarakat. Dengan begitu, siapa yang gila yang mau menanamkan modalnya di negara yang kondisinya seperti itu. Hampir tak ada pola yang pasti di negara ini. Semuanya masih sebatas ‘selera’ dari jajaran pejabat.
{Mungkin, Afrika Selatan bisa kita jadikan contoh?}
Saya setuju dengan pola yang diterapkan Nelson Mandela di sana. Intinya, Rekonsiliasi Nasional, kita semua harus saling memaafkan, tutup semua persoalan masa lalu dengan membuka lembaran baru. Kita hentikan semua permusuhan, hujat-menghujat. Kita harus menyadari bahwa itu semua merupakan tragedi nasional yang merugikan semua lapisan masyarakat. Mulai saat ini kita harus dari awal lagi menjungjung tinggi yang namanya etika dan moral.
Jika hal itu tidak segera dilakukan, jangan harap ada investasi yang bakal masuk ke Indonesia. Karena, jika masih seperti sekarang, untuk apa dia bawa masuk modalnya ke sini? Wong ke Vietnam, Cina saja aman. Aman dalam segala hal. Sementara di Indonesia yang hitam bisa jadi putih, yang putih bisa jadi hitam. Masuknya investasi merupakan kata kunci awal pulihnya kita dari krisis multidimensi. Karena itu berarti, di negara kita sudah ada kepastian hukum, terjaganya rasa keamanan dan ketertiban, para pejabat negaranya punya moral dan etika, dan sebagainya.
{Apakah mungkin cara Afrika Selatan bisa diterapkan di sini?}
Saya balik bertanya, apakah kita sendiri memiliki keinginan untuk memperbaiki kondisi dan keadaan bangsa dan negara ini? Satu-satunya yang bisa mendorong ini jika pemerintahannya kuat. Dalam arti, pejabat-pejabat negaranya dapat dijadikan contoh dan suri tauladan, punya moral, itu baru bisa. Tapi, selama pejabat-pejabatnya masih mengurusi kepentinganya sendiri dan kelompoknya saja, jangan pernah mimpi krisis multidimensi ini akan segera berakhir. Itu saja kuncinya.
Jika hal itu bisa terjadi, secara otomatis, yang namanya dikotomi antara sipil dan militer akan terhapuskan. Pasalnya, semua berjalan sesuai sistem yang ada dan berjalan dalam lingkaran profesionalisme. Dan antara sistem di satu lembaga dengan sistem di lembaga yang lain, saling mendukung dan melengkapi. Tujuannya hanya satu, untuk kemajuan bangsa dan negara. Jadi, yang rusak dan hancur di sini itu bukan cuma elemen-elemennya, melainkan pula sistemnya. Sistem bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, sudah tidak terjaga lagi. TNI dan Polri merupakan satu bagian dari sistem tersebut. Karena, kita harus akui, saat ini, ada fenomena pengrusakan sistem. Akibatnya ya seperti kita lihat dan rasakan sekarang.
© Copyright 2024, All Rights Reserved