Sidang Tahunan MPR tengah digelar. Pidato {progress report} (laporan perkembangan) pemerintahan Megawati pun telah diperdebatkan publik secara luas. Dan mungkin ada benarnya jika kalangan masyarakat luas menganggap Megawati sebagai fotocopy Soeharto daripada menampilkan sosok Bung Karno.
Sepanjang perjalanan pemerintah kabinet Gotong Royong dibawah komando Mega, belum ada satupun prestasi fenomenal yang melepaskan dahaga rakyat pada rasa keadilan. Kesenjangan ekonomi kian meluas dan jumlah pengangguran makin menyebar.
Ujungnya, kebangkrutan ekonomi nasional cuma dalam hitungan waktu. Parahnya Mega justru menampakkan bakat otoritarian yang lebih bengis dari Soeharto. Masa iya?
Perjalanan karir politik Mega mulai memasuki babak-babak kritis. Pasalnya, sepanjang setahun perjalanan pemerintahan kabinet Gotong Royong dibawah komando Mega, belum ada satupun prestasi positif yang memberi sinyal adanya keseriusan Mega membawa keluar bangsa ini dari krisis multi dimensi. {Ndilalahnya}, potensi kerugian yang dihasilkan oleh kabinet Mega justru lebih besar.
Salah satu yang tampak didepan mata adalah lenyapnya beberapa BUMN dari tangan pemerintah. Kendati berdalih untuk menutupi bolongnya APBN, namun sulit dinafikan adanya kepentingan sekelompok orang untuk mengais duit dari penjualan aset negara tersebut. Parahnya, kadangkala penjualan aset-aset {blue chips} itu justru melahirkan kekisruhan akibat kencangnya tarik-menarik antar kelompok kepentingan. Tentu saja, tarik menarik ini hanya berkisar soal pembagian rezeki.
Namun itu belum seberapa, potensi kebangkrutan ekonomi nasional juga makin terllihat nyata dengan dipulangkannya ribuan TKI dari Malaysia dan Taiwan. Belum lagi ancaman banjir pengangguran menyusul kaburnya sejumlah investor asing dan rencana relokasi industri dari Indonesia ke Vietnam dan China. Alhasil, muncul ancaman serius dari lonjakan angka pengangguran. Paling tidak, membludaknya tenaga kerja yang tak tertampung berpotensi meningkatkan potensi kriminal.
Efek selanjutnya, penurunan daya beli masyarakat akan berimbas menipisnya penjualan produk konsumtif. Buntutnya, produsen terancam gulung tikar dan jumlah pengangguran kian melonjak. Begitu seterusnya mirip lingkaran setan.
Sementara disisi lain, penuntasan kasus-kasus korupsi, terutama para penjahat kaliber perampok BLBI, masih tetap jalan di tempat. Bahkan ada kecenderungan Mega, diwakili oleh tangan kanan merangkap bossnya, Taufik Kiemas, ikut larut dalam permainan mencari untung dari para pantan konglomerat tersebut. Caranya, apalagi kalau bukan mempermainkan perangkat hukum yang memang mata duitan.
Lantas, apa upaya Mega untuk mengatasi setumpuk masalah bangsa yang mendesak? Terus terang tak ada sama sekali alias nol besar. Bukan saja Mega memang tak memiliki konsep jelas dalam menangani kekacauan ekonomi nasional, malah Mega plus kabinetnya lebih asyik mencari dana untuk persiapan Pemilu 2004.
Jadi jangan tanya lagi soal keseriusannya mengatasi semua persoalan bangsa, terutama perkara mengangkat rakyat dari jurang kemiskinan. Pasalnya, Mega yang tak pernah merasakan kemiskinan bin kesusahan hidup, tak mungkin terketuk hatinya dan mendengar jeritan kesulitan rakyat.
Selama masa pemerintahannya, solusi yang ditawarkan Mega lebih bersifat retorika dan hembusan janji palsu. Kalaupun ada langkah konkret, rasanya bukan karena hasil kajian yang mendalam. Alhasil langkah tersebut hanya bersifat temporary dan sama sekali tidak mampu menyelesaikan masalah. Boleh dibilang, seperti pemadam kebakaran memadamkan api.
Contoh paling jelas adalah dalam soal penanganan TKI dari Malaysia. Sejak negeri jiran itu kesal oleh ulah segelintir oknum TKI, negara itu telah memberi sinyal bakal meluncurkan aturan tegas dalam masalah keimigrasian.
Sayangnya, entah belagak pilon atau memang mengambil sikap masa bodo, pemerintah sama sekali tidak mengantisipasi sejak dini kemungkinan terjadinya ledakan pengangguran asal Malaysia itu.
Apa yang dilakukan Mega? Nyaris tak ada, Mega baru mengambil langkah setelah arus besar-besaran TKI mendarat di kampung halaman mereka masing-masing. So, boleh dibilang Mega telat bertemu Mahatir.
Ketidakjelasan visi Mega juga terlihat dalam penanganan kasus rencana hengkangnya sejumlah investor ke luar negeri. Pemerintah cenderung mengambil sikap adem ayem, kalau tak mau disebut emang gua pikirin.
Parahnya, pemerintah justru menyalahkan demo para buruh sebagai penyebab rencana relokasi sebagian besar pelaku industri. Padahal, secara kasat mata terlihat, iklim investasi di Indonesia sama sekali tak kondusif.
Disamping masalah keamanan yang payah, besarnya biaya siluman hasil injak kaki aparat birokrat terhadap pengusaha membuat cost operasional semua sektor bisnis menjadi unpredictable. Parahnya pemerintah malah membebani dunia usaha dengan menaikan harga bahan bakar, tarif listrik dan tarif telephone.
Kisah soal amburadulnya kinerja Mega seperti air mengalir di sungai, tak ada habisnya. Boleh dibilang, ibarat dongeng 1001 malam, cerita ketidakmampuan Mega tidak bakal habis didongengkan selama bermalam-malam, Pasalnya, Cut Nyak yang naik ketampuk kekuasaan dari darah pengorbanan korban peristiwa 27 Juli ini tak punya nurani. Jadi, jangan lagi wong cilik menagih janji Mega. Karena semua janjinya hanya janji palsu. Buktikan saja!
© Copyright 2024, All Rights Reserved