Ada kegelisahan besar yang dirasakan Choy Ka Fai, seniman performance dan desainer spekulatif asal Singapura atas jati diri tari kotemporer Asia. Kegelisahan itu muncul ketika beberapa kurator Eropa mempertanyakan hal itu pada video promosi “Out of Asia: The Future of Contemporary Dance” di Sadlers Wells, London 7 September 2011.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, peraih penghargaan The Singapore Young Artist Award itu berupaya mencari tahu posisi tari kontemporer Asia saat ini. Melalui proyek The Soft Machine, Choy mengadakan penelitian untuk mendapatkan inspirasi karya koreografi yang baru dan eksperimental.
Hasil penelitian selama 3 tahun itu kemudian dipresentasikan melalui 4 dokumenter performance yang dikerjakan bersama 4 koreografer Asia yakni Rianto (Indonesia), Surjit Nongmeikapam (India), Xia Kex Zi Han (Tiongkok) serta Yuya Tsukahara (Japan).
Melalui dokumenter tersebut, Choy ingin menunjukkan bagaimana proses kolaborasi atau interaksi secara intim dengan setiap individu koreografer.
Penelitian awal itu menunjukkan pembahasan tentang tari kontemporer di Asia masih pada tahap embrio, kendati banyak penelitian akademik yang telah dilkukan di bawah pengaruh barat yang sangat kuat.
Meski demikian, keterlibatan Rianto pada proyek tersebut setidaknya telah membuka lebih banyak lagi pasang mata yang melihat dan mengagumi kreativitas seni kontemporer yang digalinya dari akar budaya tradisi.
Rianto sendiri mendasari seni tarinya dari tari rakyat Lengger Bayumasan, Jawa Tengah. Sebuah kesenian rakyat yang lekat dengan kehidupan orang kecil di pedesaan. Namun berkat ketekunannya dalam mengembangkan seni tradisi melalui minat khusus terhadap representasi tubuh dalam seni tari modern inilah yang membuatnya mampu keluar dari jalur pemikiran logis. Disamping itu juga mampu membawanya masuk dunia gerak tubuh yang irasional dan tak dapat dijelaskan. Misalnya ketika situasi tubuh kerasukan roh.
Jati diri lainnya Rianto memiliki teknik tari yang khas dan sama sekali tidak bersentuhan dengan metode Barat.
Pada penampilan tunggalnya di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Rabu (05/11) kemarin, Direktur Artistik pada Dewandaru Dance Company di Tokyo, Jepang itu mempertunjukkan kepiawaiannya sebagai seniman tari kontemporer yang berakar pada tradisi Banyumasan. Hal itu ia buktikan melalui tarian topeng yang bertajuk Kamandaka.
Lelaki yang memiliki tubuh kekar itu ternyata mampu menarikan tarian tersebut dengan lemah gemulai. Setidaknya melalui karya tersebut ia telah memenuhi sebagian keinginannya untuk menjadikan tubuh penari Asia menjadi tubuh yang baru.
Hal lain yang memperkaya khasanah seni tarinya yakni ketika ia keluar dari kubangan seni tradisi dan menetap di Tokyo sejak 2003. Di situlah ia mengembangkan praktik koreografi yang berbeda meski tetap berangkat dari tradisi yang dimilikinya. Selama berada dalam petualangannya itu Rianto sudah tampil bersama koreografer Asia seperti Akiko Kitamura (Jepang), Sen Hea Ha (Korea) serta Chen Shi Zhaeng (Cina).
Melalui sentuhan Rianto itulah seni tradisi Banyumasan pun semakin berkembang, khususnya di kawasan Asia. Jadi siapa bilang, seniman Kotemporer Asia tak memiliki jati diri. Perlahan namun pasti, seniman tari jebolan ISI Surakarta itu telah mewujudkannya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved