Tiga kandidat presiden akan berkompetisi sengit memperoleh kepercayaan rakyat. Sebelum dimulai, isu tak sedap berembus kemana-mana. Siapa pemenangnya?
Di malam terakhir waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, lengkap sudah pasangan koalisi partai politik dengan mengusung tiga pasang kandidat capres/cawapres mereka untuk maju pada Pilpres mendatang.
Adalah pasangan Jusuf Kalla ? Wiranto yang pertama kali mendeklarasikan kesiapannya untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden dari Partai Golkar dan Partai Hanura.
Jum?at malam, pasangan kandidat Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono ? Boediono ditasbihkan bersama peserta koalisi utama Demokrat, PKS, PAN,PKB, dan PPP. Menjadi capres/cawapres mereka.
Pada malam yang sama, PDIP berkoalisi dengan Gerindra. Kandidat capres PDIP Megawati Soekarnoputri berkoalisi dengan capres Gerindra, Prabowo Subianto. Setelah berkoalisi, Prabowo bergeser posisi menjadi cawapres PDIP. Hal serupa terjadi dengan Wiranto yang semula merupakan kandidat capres Hanura.
Memang musim kampanye capres/cawapres belum tiba. Namun, persiapan ?mesin perang? ketiga pasangan ini, JK-Wiranto, SBY-Boediono, Mega-Prabowo, tentu sudah disiapkan secara maksimal. Rentang jaringan, slogan penarik, logistik dan amunisi yang diperlukan untuk memenangkan kompetisi, sudah tersebar di penjuru tanah air.
Dalam seminggu terakhir, isu-isu yang menyerempet para kandidat capres/cawapres mulai bertebaran. Ada yang dikemas dalam bentuk unjuk rasa, melalui pesan singkat, email, bahkan sarana facebook yang juga dipergunakan Barack Obama untuk meraih kursi presiden Amerika Serikat, beberapa waktu lalu.
Isu semacam, antimiliterisme, haram, HAM, 27 Juli, korupsi, neoliberalis, neokapitalis, jawa-non jawa, islam non islam, merebak untuk menemukan sasarannya. Meski dikemas secara apik -- tak jelas siapa peniup awalnya, namun isu yang demikian mau tak mau akan menguntungkan dan merugikan kandidat capres/cawapres tertentu.
Tentu, dalam menangkal isu-isu yang tak sedap tersebut, ketiga pasangan kandidat capres/cawapres yang akan berkompetisi pada Pilpres mendatang, sudah menyiapkan menu penangkalnya.
Sangat disayangkan, bila pada Pilpres 2009 ini, pergulatan untuk memperebutkan simpati rakyat pemilih dicemari oleh aksi-aksi saling tuding, saling aku, dan saling serang.
Rakyat tak perlu itu. Rakyat hanya akan menyimak, apa dan apa yang akan diperbuat ketiga pasang kandidat ini, bila diberi amanah untuk duduk memimpin pemerintahan mendatang.
Rakyat tidak butuh janji, rakyat tidak butuh pidato, rakyat juga tidak buruh iklan. Rakyat ingin mendapatkan bukti, bahwa presiden terpilih benar-benar melakukan yang terbaik untuk meningkatkan kesejahtraan rakyat Indonesia.
Apa yang menarik dari ketiga kandidat capres kali ini? JK, yang maju menjadi capres Golkar-Hanura adalah wakil presiden saat ini. Sementara SBY merupakan presiden saat ini. Dan Megawati Soekarnoputri adalah Presiden Republik Indonesia yang digantikan oleh SBY, melalui Pemilu 2004 lalu.
Tanpa menisbikan kemampuan tangguh yang dimiliki pasangan ketiga capres tersebut, rakyat pemilih akan begitu jelas dan mudah melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah dilakukan oleh ketiga kandidat capres yang ada. Program apa saja yang telah dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan untuk kepentingan golongan atau keluarga.
Pada sisi inilah, telaah dan kajian kritis akan dilakukan rakyat pemilih. Motif, Visi, Misi, program yang ditawarkan ketiga pasangan kandidat ini akan dikuliti secara jernih oleh rakyat pemilih (soalnya ada yang tidak memilih). Mereka akan memilah dan kemudian akan menemukan, yang mana janji, yang mana bukti dan yang mana bakal diingkari.
Bila melihat modal politik yang diusung ketiga kandidat capres/cawapres, sisi kemampuan manajerial dan komunikasi politik, posisi pasanganj SBY-Boediono cukup kuat. Pasangan ini diusung, setidaknya oleh lima partai politik (Demokrat, PKS,PAN,PKB,PPP) yang lolos melenggang ke Senayan. SBY-Boediono memiliki kekuatan kursi di parlemen sekitar 56 persen atau 314 kursi.
Untuk pasangan JK-Wiranto, dua partai pengusungnya juga cukup kuat di parlemen. Suaranya sekitar 22 persen atau 125 kursi. Semantara pasangan Mega-Prabowo memiliki modal politik sekitar 21 persen atau dengan 121 kursi parlemen.
Bila menggunakan asumsi kursi di lembaga legislatif, bila JK-Wiranto (125 kursi) dan Mega-Prabowo (121 kursi) berkoalisi, jumlahnya hanya sekitar 246 kursi. Belum bisa mengejar koalisi parlemen yang diusung SBY-Boediono (314 kursi).
Mengapa rasionalitas dan realitas kursi di parlemen perlu diperhatikan? Pertama, berdasarkan pengamatan di pemerintahan selama ini, parlemen terkadang bisa menjadi ganjalan dalam melaksanakan program pemerintah. Banyak sekali program pemerintah yang harus mendapat persetujuan parlemen. Tanpa itu, program yang dicanangkan jadi tersendat-sendat.
© Copyright 2024, All Rights Reserved