Cendekiawan Muslim Prof Dr Nurcholish Madjid mengingatkan bangsa ini harus bisa mempertahankan siklus kepemimpinan nasional setiap lima tahun sekali untuk menciptakan budaya demokrasi yang matang.
"Mengapa Amerika Serikat (AS) bisa menjadi negara maju dan modern, itu bukan karena mereka punya kekuatan ekonomi atau militer. Tapi karena masyarakat Amerika Serikat sangat menghargai lembaga kepresidenan," kata Nurcholish Madjid atau biasa dipanggil Cak Nur dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Paramadina di Jakarta, kemarin.
Dalam diskusi yang juga menampilkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nurwahid dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W Kusumah itu, Cak Nur mengemukakan meskipun beberapa kali terjadi gejolak politik yang sangat hebat namun masyarakat dan elite politik di Amerika Serikat selalu menjaga kehormatan lembaga presiden.
"Masyarakat Amerika menghargai siklus pergantian kepemimpinan nasional setiap empat tahun sekali. Dalam sejarah kepresidenan di Amerika, tidak pernah ada presiden yang diberhentikan di tengah jalan atau di-impeach," katanya.
Kata Cak Nur, rakyat AS sangat sadar bahwa kalau mereka sekali memberhentikan presidennya di tengah masa jabatan -meskipun konstitusi AS membenarkan- hal ini dikhawatirkan akan membuat guncangan terhadap sistem politik secara keseluruhan.
"Karena itu, saya selalu bersikeras agar kita mau mempertahankan Megawati sebagai presiden hingga masa jabatannya berakhir. Pemilu harus menjadi cara konstitusi untuk mengganti pemimpin nasional," katanya.
Atas dasar inilah, Cak Nur mengingatkan pemilu mendatang harus melahirkan seorang pemimpin nasional yang benar-benar bisa membawa perbaikan bagi bangsa ini. "Kita perlu seorang pemimpin yang kuat yang mampu membuat keputusan yang strategis walaupun keputusan itu mungkin tak populer," tuturnya.
Menurut Cak Nur, untuk memperoleh pemimpin yang seperti itu tidak boleh lagi terulang seperti di masa lalu di mana pemimpin diputuskan lewat kompromi politik. Kepemimpinan nasional harus sepenuhnya dipilih lewat aspirasi rakyat. "Perlu pula diingat pilihan itu jangan sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan idiologis seperti agama atau nasionalis. Tapi harus melihat track record atau kapasitas si calon presiden itu," ujarnya.
Menanggapi seorang penanya, Cak Nur mengakui bahwa Pemilu 2004 bisa saja gagal memilih seorang pemimpin yang mampu membawa perbaikan. Untuk itu, menurutnya, bangsa ini harus bersabar hingga pemilu selanjutnya untuk memilih pemimpin yang baru.
"Risiko untuk sabar hingga pemilu 2009 itu lebih kecil ketimbang kita kemudian memberhentikan presiden terpilih di tengah masa jabatan," tuturnya.
Mulyana Kusumah mengakui memang tak mudah bagi masyarakat untuk memilih seorang presiden dari berbagai nama yang dicalonkan partai politik. Apalagi, tingkat pengetahuan dan kultur politik rakyat masih sangat dipengaruhi faktor dari luar individu seperti patronalistik.
Untuk meminimalkan hal ini, Mulyana Kusumah setuju dilakukan debat publik di antara calon presiden-wapres sehingga rakyat bisa langsung memberikan penilaian. "Walaupun debat publik itu juga belum menjamin kalau calon presiden itu hebat dalam berdiskusi sekaligus mampu menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat," tuturnya.
Namun, Mulyana menyebutkan ada kecenderungan calon presiden yang diajukan partai politik tertentu menghindari debat publik. Hal ini merujuk pada Pasal 15 RUU Pemilihan Presiden yang tak mengatur soal debat publik calon presiden dan membuka kemungkinan debat itu digantikan oleh tim pelaksana kampanye masing-masing parpol.
Sementara itu, Hidayat Nurwahid mengemukakan berdasarkan pasal-pasal yang disepakati dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik serta RUU Pemilihan Presiden-Wapres yang segera dibahas maka kemungkinan untuk melahirkan seorang presiden yang berkualitas sangatlah kecil. Sebab, undang-undang itu telah dibuat dengan memuat kepentingan parpol tertentu sehingga tak memungkinkan rekrutmen pemimpin nasional yang terbuka.
Menurutnya, Partai Keadilan Sehjahtera semula berniat mengajukan judicial review terhadap paket undang-undang bidang politik ini dengan maksud agar proses demokratisasi politik bisa berjalan baik yang pada akhirnya melahirkan pemimpin yang berkualitas.
"Tapi, ketentuan yang ada mengatur kalau judicial review ini diterima maka ada kemungkinan Mahkamah Agung akan membatalkan semua undang-undang politik. Kalau ini terjadi maka akan lahir undang-undang bidang politik yang lebih tidak demokratis lagi karena dibuat di tengah sempitnya waktu pelaksanaan pemilu. Atas dasar inilah, kami kemudian membatalkan judicial review walau ada risiko pemilu mendatang tidak akan berlangsung demokratis," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved