Walaupun hingga kini belum rampung---Pemilu tinggal satu tahun lagi, RUU Pemilu secara lambat laun semakin menemukan jatidiri seperti apa keinginan para partai yang kini duduk di DPR untuk melaksanakan pesta demokrasi 2004.
Semua tahu, lolosnya RUU ini menjadi Undang-undang, tentu tidak akan lepas dari konflik kepentingan partai-partai yang kini menikmati kekuasaan. Adalah sessuatu yang mustahal, bila UU Pemilu tidak menyerap konflik kepentingan mereka. Jargon-jargon demokrasi memang menjadi tameng untuk mendiskusikan beragam materi yang ada. Tetapi tetap saja, jargon tersebut diselimuti konflik kepentingan partai-partai yang masuk dalam arus kekuasaan saat ini.
Diantara hal penting yang ada didalam RUU Pemilu adalah; {Pertama} soal system pemilihan—kini ada dua mashab yang berkembang dan belum final: Proporsional Terbuka atau Tertutup.{Kedua}, soal posisi dan mekanisme kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta institusi turunannya.
Hal yang pertama, masyarakat cukup gembira ketika PDIP menyetujui system proporsional terbuka. Jadi masyarakat disamping memilih partai, juga akan memilih siapa kandidat yang akan menjadi wakil mereka di parlemen. Yang kedua, pasal tentang KPU yang diajukan pemerintah dirombak habis dengan tujuan menjadikan KPU lebih independen.
Dari kedua hal ini, bila benar-benar masuk menjadi pasal-pasal dalam UU Pemilu, setidaknya warna pesta demokrasi 2004 sudah bisa tergambar. Dan tertib pelaksanaannya sangat tergantung kepada KPU dan Lembaga Pengawas Pemilu (LPU). Mampukah lembaga ini menjadi wasit pemilu yang tegas,lugas, dan tanpa kompromi? Ukuran dari sikap KPU dan LPU ini adalah seberapa jauh partai-partai peserta Pemilu mampu menjalankan ketentuan undang-undang. Dan kemudian akan terlihat seberapa banyak partai yang memperoleh kartu merah dan kuning.
Nah, pada konteks Pemilu 2004, salah satu hal penting yang menjadi perhatian masyarakat adalah soal Wasit Pemilu. Sebab, di tengah ketatnya persaingan memperebutkan kursi, ditambah dengan kondisi ekonomi masyarakat yang miskin, keberadaan LPU menjadi sangat penting.
Tengok saja Pemilu 1999, begitu sulit mencari peserta pemilu yang tidak curang. Misalnya saja soal dana partai. Partai-partai peserta Pemilu 1999 membuat cerita {imajiner} dengan klausul sumber dana : {Dari Hamba Tuhan} yang tidak perlu lagi diketahui asal muasalnya.
Siamk saja laporan KPU yang lalu. Dari 141 parpol yang terdaftar, 74 parpol sama sekali tidak memasukkan laporan keuangan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang (UU). Dari 21 parpol yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun, hanya lima partai yang memasukkan laporan kepada Mahkamah Agung. Begitu juga soal pengeluaran dana kampanye.
Antara realitas dan laporan saling silang. Partai Golkar melaporkan dana kampanye sebesar Rp 13,136 milyar. PDI-P Rp 10,966 milyar, Partai Republik Rp 5,846 milyar, Partai Persatuan Pembangunan Rp 5,572 milyar, Partai Kebangkitan Bangsa Rp 4,219 milyar. Partai Amanat Nasional Rp 2,429 milyar.
Dari angka-angka tersebut, yang menarik tak ada satu pun partai yang melaporkan biaya untuk penyewaan helikopter. Padahal, ketika itu helikopter landing dimana-mana mengusung rombongan Ketua Umum Partai untuk hadir dalam kampanye akbar mereka.
Memang, dengan kelebihan dan kekurangan yang ada, Pemilu 1999 masih dinilai banyak kalangan sebagai pemilu yang demokratis. Tetapi hasil itu dibandingkan dengan Pemilu selama zaman Orde Baru.
Maka dari itu, disamping dua hal diatas (Sistem Pemilu dan Posisi KPU), soal dana kampanye, tampaknya harus diatur lebih rinci.Batas maksimum sumbangan dana kampanye perlu ditetapkan dengan tegas dan jelas. Mana pos yang boleh, mana yang tidak. Tentu berikut bukti-bukti yang bisa ditelusuri. Jangan lagi ada klausul {Dari Hamba Tuhan}. Soal besarannya, tentu tidak begitu perlu diperdebatkan. Soal sumber dana partailah yang harus ditegaskan secara rinci. Dengan demikian, semakin sulit bagi partai untuk berkelit. Disamping itu, agar tidak ada celah manipulatif alias kebohongan, pelaporan sumbangan dana kampanye yang diterima para calon atau kandidat dari partai politik harus juga dijelaskan secara rinci dan dilakukan audit, seperti halnya mengaudit dana partai.
Setelah hal diatas jelas dan rinci, maka UU Pemilu juga harus merinci soal definisi tentang dana kampanye, penanggung jawab yang jelas atas pencatatan pemasukan dan pengeluaran dana kampanye, aturan standard laporan keuangan parpol yang terkonsolidasi dari tingkat terendah (pengurus ranting) sampai tingkat tertinggi (dewan pimpinan pusat). Semua ini juga, baru bisa diterima sebagai sebuah dokumen yang syah—artinya tidak melanggar UU Pemilu, manakala sudah dilakukan audit oleh auditor independen. Baik sebelum maupun sesudah 7 hari dilakukan pemungutan suara.
Maka dari itu, di tengah kondisi belum tersedianya aturan main yang rinci, maka salah satu cara guna mengeliminir pesta demokrasi 2004 agar tidak {amburadul} adalah hadirnya wasit-wasit Pemilu yang independen dan professional yang tidak memihak. Disamping KPU, LPU, tentu melibatkan masyarakat professional yang memantau secara sektoral aspek-aspek pelaksanaan Pemilu menjadi begitu penting.
Sementara LPU bertugas mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu; menerima laporan pelanggaran UU Pemilu; menyelesaikan sengketa atas perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan pemilu; serta menindaklanjuti temuan, sengketa dan perselisihan kepada instansi penegak hukum.
Andai saja tatanan konsep yang mengarahkan agar Pemilu 2004 menjadi lebih jujur, lebih adil, lebih terbuka, lebih demokratis bisa disepakati, bisa jadi mimpi menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi akan semakin cepat terealisir. Masyarakat tidak akan pernah mendengar, seorang wakilnya di parlemen yang tidak tahu siapa yang memilih dirinya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved