Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dan Malaysia tentang buruh migran diapresiasi sebagai sebuah langkah maju. Namun itu belum cukup. Masih banyak persoalan dalam penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. Lol itu perlu ditindak lanjuti dengan kesepakatan lain dan aturan yang lebih detail.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar dan Menteri Tenaga Kerja Malaysia Dato Seri Hishammudin Tun Hussein pada Selasa (18/05) lalu telah menandatangani Letter of Intent (LoI) mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di sektor informal.
Penandatanganan LoI tersebut disambut gembira oleh Okky Asokawati, anggota Komisi IX DPR. Namun menurutnya, harus ditindaklanjuti dengan penandatanganan kerja sama antara kedua negara yang saling mengikat.
Hal terpenting yang harus ditindaklanjuti adalah tentang pembentukan badan pengawas atas pelaksanaan LoI tersebut. Siapa saja yang duduk di badan pengawas. Bagaimana mekanisme pengawasan dan apa saja kewenangannya. Sebab menurut politisi PPP itu, hasil kesepakatan itu akan sia-sia saja jika tidak ditindaklanjuti dengan pengawasan kedua negara.
Ia mengakui, LoI tersebut merupakan langkah maju terhadap perlindungan buruh migran Indonesia. Khususnya di sektor informal (domestik worker). Namun masih banyak persoalan mendasar terkait penempatan dan perlindungan buruh migran tersebut.
Apa saja persoalan mendasar yang dimaksudkan Okky itu? Kepada Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com lulusan S-2 Psikologi Universitas Indonesia itu mengemukakan pandangannya dalam sebuah wawancara di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (20/05) Berikut petikannya.
Bagaimana anda menyikapi hasil LoI antara Indonesia - Malaysia tentang penempatan dan perlindungan buruh migran kita di Malaysia?
Bersyukur LoI sudah ditandatangani. Saya berharap MoU-nya pun segera ditandatangani. Ini merupakan langkah maju bagi pekerja kita. Khususnya mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dari segi HAM sudah semakin dihargai. Paspor sudah bisa dipegang sendiri. Mereka juga berhak libur satu hari dalam satu Minggu.
Tetapi LoI tersebut belum menyepakati tentang upah yang selama ini dinilai paling rendah dibanding buruh migran lainnya. Jangankan dengan buruh migran Philiphina. Dibandingkan dengan UMR di Jakarta pun masih kalah. Kemenakertrans harus mendorong kembali Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang ada untuk menegosiasikan dengan dengan agen-agen pekerja di Malaysia.
Berapa idealnya upah buruh migran kita di Malaysia?
Upah yang ada sekarang memang masih rendah. Bahkan di bawah standar. Dibanding buruh migran dari Philipina, kita kalah. Selama ini mereka hanya dibayar 700 ringgit setara dengan Rp1,8 juta. Jadi masih separonya upah buruh migran dari Philipina. Tidak usah muluk-muluk. Jika bisa ditingkatkan menjadi Rp2 juta per bulan saja, itu sudah baik. Untuk mencapai kesetaraan dengan upah dengan buruh migran negara lain, memang masih butuh banyak perjuangan.
Bagaimana mekanisme pengawasan LoI tersebut menurut anda?
Ya itulah yang masih menjadi persoalan dan menjadi concern kami di Komisi IX DPR. Siapa saja stakeholder yang akan ditunjuk sebagai pengawas atas hasil kesepakatan tersebut. Bagaimana mekanisme pengawasannya? Lantas apa kewenangan dan sebagainya. Komisi IX akan menanyakan hal itu dalam RDP atau raker dengan Menakertrans mendatang, sebagai upaya check and balances.
Apakah hal itu juga sudah dibicarakan dengan pemerintah Malaysia?
Saya dengar memang sudah ada kesepakatan tentang pembentukan badan pengawas. Tetapi belum dilakukan perincian terkait keanggotaan, mekanisme dan kewenangan tadi. Ini memang akan menjadi persoalan mendasar jika tidak dipersiapkan secara matang. Karena LoI itu menjadi tidak berarti jika mekanisme pengawasan tidak jalan.
Di Jakarta saja tenaga pengawas dari Suku Dinas Tenaga Kerja masih sangat terbatas. Bayangkan, 89 orang harus mengawasi karyawan di 2000-an perusahaan. Jadi memang masih sangat kurang. Karena itu saya berharap hal ini bisa menjadi bahan pelajaran dalam pembentukan badan pengawas bagi buruh migran kita di Malaysia.
Bagaimana jika ada perselisihan perburuhan di sana. Apakah badan pengawas juga berwenang memfasilitasinya?
Ini memang menjadi bagian dari tanggung jawab badan pengawas. Mereka itu kan juga harus mengawasi para majikan yang memperkerjakan buruh migran kita. Sesuai kesepakatan yang telah dicapai. Hanya memang di Malaysia sendiri yang namanya buruh migran di sektor pembantu rumah tangga (PRT) itu belum masuk dalam serikat pekerja. Mereka berada di luar area itu.
Karena itu, penyelesaian permasalahannya pun tidak serta merta bisa diselesaikan melalui lembaga peradilan setempat. Kecuali jika terjadi kriminalisasi terhadap buruh migran kita. Karena itu, badan pengawas menjadi penting artinya dalam pelaksanaan hasil yang sudah disepakati tadi.
Soal perlindungan dan penempatan TKI sendiri sudah sejauhmana kemajuannya?
Itulah persoalan mendasarnya. Sebab tarik menarik kewenangan antara Kemenakertrans dengan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) hingga saat ini masih belum juga terselesaikan. Persoalan itu sangat merugikan pekerja.
Dalam raker dengan Menakertrans maupun dengan Kepala BNP2TKI, hal itu sudah berungkali kami tanyakan. Namun jawabannya tidak berbelit-belit dan tidak pernah tuntas meski telah ada keputusan MK terkait dualisme kewenangan tersebut. Karena itu menurut kami, solusinya harus segera mengamandemen UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tentang pemulangan TKI katanya sudah ada perubahan. Dapat anda jelaskan?
Ya memang ada aturan yang baru. Pemulangan mereka tidak lagi melalui terminal khusus (Terminal III) tetapi sudah melalui terminal umum. Namun itu saja belum cukup. Harus ada kepedulian pemda-pemda dimana buruh migran tersebut berasal. Karena bagaimana pun mereka juga punya andil dalam peningkatan PAD daerah-daerah asal.
Bagaimana dengan kualitas SDM yang dikirim ke luar negeri?
Saya prihatin dengan pengiriman pekerja di bawah usia. Pada 2008, belum ada. Namun pada 2009 mulai ada pengiriman pekerja di bawah usia. Jumlahnya pun cukup signifikan. Hal itu saya jumpai ketika melakukan kunjungan kerja ke Arab Saudi.
Perwakilan kita di sana sempat mengeluh kepada saya. Bagaimana mau bersaing dengan pekerja dari negara lain jika yang dikirim usianya masih tergolong remaja itu. Ini kan juga berpengaruh terhadap keselamatan kerja mereka sendiri.
Apakah hal itu sudah disampaikan ke kementerian terkait?
Sudah. Memang Kemenakertrans sudah memberikan sanksi terhadap PPTKIS yang nakal tersebut, bahkan sudah dicabut ijinnya. Tetapi mereka mendirikan PPTKIS baru dengan nama lain, tetapi oknum-oknumnya itu-itu juga. Mengapa hal itu bisa muncul, karena memang terbatasnya tenaga pengawas dan masih lemahnya law enforcement.
Apakah selama ini tidak ada sistem yang baku tentang hal itu?
Ya bisa saja itu dibuat, tetapi law enforcement-nya harus dipertegas. Tenaga pengawasnya ditambah. Sebab kalau tidak, maka hal itu akan terus berulang. Pengawasan terhadap PPTKIS juga harus terus diperketat karena merekalah yang selama ini mengirimkan pekerja ke luar negeri.
Jadi masih banyak persoalan tentang TKI yang harus dibenahi. Itu semua berpulang kepada pemerintah. Sejauhmana mereka mau mewujudkan good governance. Karena itu, kami dari Komisi IX harus terus mendorong hal itu agar perlindungan terhadap buruh migran kita di luar negeri pun terus membaik.
Biodata Singkat:
Nama: Dra Hj Okky Asokawati, S.Psi
Tempat/Tgl lahir: Jakarta 6 Maret 1961
Partai : PPP
Dapil: DKI Jakarta II
Keanggotaan di DPR : Anggota Komisi IX
Pendidikan akhir : S-2 Psikologi Universitas Indonesia
© Copyright 2024, All Rights Reserved