Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengritik rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diusulkan 45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari 6 fraksi. Draft revisi UU KPK itu dinilai tidak mencerminkan kesadaran kolektif antikorupsi.
Ketua PBNU bidang hukum, perundang-undangan dan hak asasi manusia, Robikin Emhas, mengatakan, pembatasan umur KPK selama 12 tahun dalam draft revisi UU KPK tidak mencerminkan kesadaran kolektif anti korupsi.
“Bahkan boleh dikatakan tidak memiliki basis argumentasi dan rasio logis yang memadai, karena di tengah praktik korupsi yang masih “membudaya” dan masyarakat yang menempatkan korupsi sebagai extra ordinary crime," ujar dia kepada pers di Jakarta, Kamis (08/10).
Atas alasan itu, sambung dia, sangat bisa dipahami apabila terjadi penolakan publik terhadap gagasan tersebut. “Berbeda seandainya pembubaran KPK yang memang bersifat ad hoc itu didasarkan pada indeks korupsi dengan parameter yang akuntabel, misalnya," ujar dia.
Robikin juga mengungkapkan bahwa NU dalam Muktamar ke-33 di Jombang pada awal Agustus lalu bahkan merekomendasi agar koruptor dihukum mati.
“Rekomendasi itu dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan sangat hati-hati, termasuk dari sisi hak asasi manusia mengingat menyangkut hak hidup manusia," katanya.
Diantara pertimbangan faktual NU merekomendasi hukuman mati terhadap koruptor adalah karena daya rusak korupsi yang langsung menyentuh kehidupan ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput, jelas Robikin.
Dalam keadaan seperti ini, katanya, politik pembangunan hukum harus memperkuat institusi penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi, baik kepolisian, kejaksaan dan KPK.
Selain itu, pembentuk undang-undang melalui proses legislasi yang ada perlu terus mendorong tata kelola pemerintahan yang makin akuntabel dan transparan, serta terus mengupayakan tumbuh-berkembangnya budaya anti korupsi di masyarakat.
© Copyright 2024, All Rights Reserved