Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) seakan tak ada habis-habisnya dilanda kemelut internal. Partai pemenang pemilu 1999 ini juga kerap dilanda kasus-kasus {money politics} dalam pemilihan bupati dan gubernur di beberapa daerah.
Konflik antar pengurus di DPP maupun DPD dan kasus-kasus {money politics} semakin melorotkan citra partai Megawati tersebut. Dengan citra demikian, tampaknya PDIP akan mengalami kesulitan mempertahankan posisinya dalam pemilu 2004 mendatang.
Terlahir dari situasi konflik, partai politik seperti PDIP tampaknya terus menerus membawa konflik kedalam dirinya. Lihatlah apa yang terjadi dalam kasus Haryanto Taslam. Sosok Taslam yang pernah diculik memang boleh dibilang kontroversial dan selalu ‘kritis’ menyikapi kebijakan pemerintah maupun kebijakan partainya. Terakhir Taslam ikut bersama beberapa anggota DPR yang lain menandatangani usul intepelasi mengenai kunjungan Presiden Megawati ke Timor Leste.
Sikap Taslam ini tentu saja membuat berang pengurus DPP PDIP. Apalagi ketika sang ketua umum Megawati yang juga presiden tengah dikepung berbagai manuver partai politik lewat pengajuan interpelasi di DPR. Sebut saja misalnya ancaman lewat asramagate, kasus bantuan presiden untuk perbaikan perumahan prajurit TNI dan Polri sebesar Rp 30 miliar. Belum lagi ancaman lewat kaukus partai-partai Islam yang ditengarai ingin menjatuhkan Megawati di tengah jalan.
Manuver politik dalam kehidupan parlementer sebetulnya soal biasa. Di masa Habibie dan Gus Dur semua manuver politik malah lebih telanjang di depan mata. Semua orang tampaknya mulai sepakat bahwa proses demokrasi perlu jatuh bangun. Sehingga di masa depan, terutama bagi para penguasa tak perlu lagi alergi terhadap kritik.
Bagaimana dengan kasus Taslam di PDIP. Sikap berlebihan mulai diperlihatkan para pengurus PDIP. Lewati Sekjen PDIP Soetjipto, DPP akan memberikan surat pengatan terhadap Taslam. Alasannya, karena ikut mengajukan usul interpelasi. Tentu saja agak aneh, jika partai dengan label demokrasi melakukan praktek seperti itu. Tampaknya DPP PDIP tak memahami bahwa sebagai wakil rakyat, seorang Taslam boleh punya hak pribadi untuk bertindak sebagai wakil rakyat. Dan itu bisa saja berbeda dengan kebijakan partainya.
Namun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) terlihat lebih mementingkan upaya membela kekuasaan Megawati ketimbang memberikan pembelajaran demokrasi. Sikap terhadap Taslam mestinya tak perlu berlebihan. Berbeda pendapat dalam partai berbingkai demokasi mestinya menjadi budaya politik dan napas kehidupan partai.
Tapi apa boleh buat, tampaknya PDIP memang masih sulit diharapkan untuk menjadi partai modern dan demokratis. Perkembangan terakhir, DPP PDIP akan memberikan surat peringatan kepada salah satu fungsionarisnya, yakni Haryanto Taslam.
"Pemberian surat peringatan itu sebuah pertimbangan yang tidak mustahil akan terjadi. Seharusnya sebagai kader partai, yang bersangkutan (Haryanto Taslam) memiliki kewajiban untuk menjalankan kebijakan partai,' ujar Sekjen DPP PDI-P Soetjipto.
Soetjipto menjelaskan, DPP PDI-P tidak akan memanggil Haryanto guna klarifikasi terlebih dahulu. "Kalau dari nuansa rapat DPP yang lalu, setahu saya sudah tidak perlu memanggil yang bersangkutan lagi. Jadi seandainya ada peringatan, ya langsung saja,' ungkapnya.
Menanggapi rencana tersebut, Haryanto Taslam mengungkapkan, secara pribadi dirinya akan mengajukan mosi tidak percaya terhadap Soetjipto, yang akan diserahkan ke Fraksi PDI-P DPR. "Mosi ini saya ajukan secara pribadi, tidak perlu ada penggalangan kekuatan, karena saya bukan provokator. Terserah nanti bagaimana fraksi menindaklanjutinya,' ungkapnya.
Haryanto justru meng- ingatkan, sikap DPP PDI-P yang akan memberi surat peringatan kepada dirinya, berarti melanggar UUD 1945, khususnya pasal 20A ayat 2 dan 3. Dalam ketentuan itu diatur mengenai hak interpelasi DPR dan hak tiap anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan. "Dalam UUD hak anggota DPR dijamin. Jadi saya ingatkan DPP PDI-P untuk hati-hati, dan jangan gegabah,' tandasnya.
Selain itu, lanjut Haryanto, pernyataan Soetjipto mengenai rencana pemberian surat peringatan juga bertentangan dengan amanat Piagam Partai dan Anggaran Dasar Partai.
"Sebab tiap anggota dan kader partai mempunyai tugas pengawasan politik, termasuk di dalamnya menyampaikan kritik konstruktif kepada pemerintah, siapapun yang memegang pemerintahan saat ini,' jelasnya.
Untuk itu Haryanto menilai, Sekjen DPP PDI-P Soetjipto tidak memiliki visi kenegarawanan. "Dia telah membuat pernyataan yang tidak proporsional dan melanggar konstitusi,' tegasnya.
Menyinggung mengenai latar belakang keikutsertaannya menandatangani usul interpelasi kunjungan Presiden Megawati ke Timor Lorosae, Haryanto menjelaskan, hal itu sebagai bagian dari pembelajaran politik dalam rangka mendewasakan demokrasi di Indonesia. "Ke depan, kita harus semakin baik dan transparan. Karena pada kenyataannya, kunjungan ke Timor tersebut memang ada masalah yang menjadi perbincangan di masyarakat,' jelasnya.
Menurutnya, semakin sering dilakukan interpelasi, semakin baik. Sebab akan terbangun suatu dialog antara eksekutif dan legislatif. "Di satu sisi eksekutif akan selalu terkontrol oleh rakyat melalui DPR. Di sisi lain, legislatif harus meningkatkan kepekaan terhadap aspirasi yang berkembang,' katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved