Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk membatalkan kunjungan ke Autralia, karena hingga saat ini kasus pencemaran Laut Timor yang merugikan belasan ribu warga Nusa Tenggara Timur (NTT) masih belum ada titik terang.
Permintaan itu disampaikan Ketua Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni. Menurut Ferdi, pihak Australia terus berkelit dengan berbagai alasan yang tidak mendasar untuk melarikan diri dari tanggung jawab mereka dalam penyelesaian tumpahan minyak Montara.
“Alasan yang dikemukakan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dalam suratnya bahwa Pemerintah Australia belum pernah didekati oleh Pemerintah RI untuk membantu masyarakat yang terkena dampak pencemaran Laut Timor, itu kami nilai adalah pernyataan bohong dan sengaja ingin menghindar,” kata Ferdi kepada pers, Minggu (25/12).
Ferdi mengatakan, saat Pemerintah Indonesia menyampaikan surat permintaan kerja sama membantu masyarakat korban Montara guna bersama menyelesaikan kasus pencemaran Laut Timor, Australia justru berkelit. Asutralia menyatakan tidak memiliki yuridiksi atas perairan negara lain yang artinya mereka tidak ingin membantu.
“Itu artinya bahwa Pemerintah Australia telah berbohong dengan membuat alasan yang tidak berdasar karena yuridiksi itu sama artinya dengan otoritas. Pemerintah Indonesia pun telah memberikan otoritas kepada Pemerintah Australia guna bersama menyelesaikan kasus itu,” kata Ferdi.
Menurut Ferdi, otoritas yang dimaksudkan dalam penanganan petaka tumpahan minyak Montara di laut Timor antara lain, MoU 1996 tentang kesiap siagaan dan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut antara Pemerintah RI-Australia dan Surat Pemerintah RI melalui Menteri lingkungan hidup tahun 2014 lalu.
“Selain itu, terdapat surat dari Kementerian Perhubungan RI tahun 2015 kepada Pemerintah Australia serta pertemuan resmi antara masyarakat korban dan Pemerintah Australia di dalam gedung Parlemen Australia di Canberra selama dua kali,” jelas Ferdi.
Pada tahun 2010 kata Ferdi, Duta Besar Australia Greg Moriarty menandatangani sebuah MoU bersama Menteri Perhubungan RI tentang kesediaan Pemerintah Australia mengimplementasikan MoU 1996 tentang kesiap siagaan dan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut antara Pemerintah RI-Australia,guna menyelesaikan kasus tumpahan minyak Montara 2009, namun hingga kini belum ada kejelasan.
“Pemerintah Australia terus saja berbohong karena itu saya mewakili masyarakat NTT yang menjadi korban, meminta Presiden Jokowi batalkan kunjungan ke Australia tahun 2017 mendatang,” kata Ferdi.
Sidang perdana gugatan class action 13.000 petani rumput laut asal NTT terhadap PTTEP Australasia yang mengelola kilang minyak Montara telah digelar di Pengadilan Federal Australia pada 22 Agustus 2016.
Untuk diketahui, Gugatan tersebut didaftarkan oleh Daniel Senda, petani rumput Laut asal Kabupaten Rote Ndao pada 3 Agustus 2016.
Gugatan itu dibagi dalam tiga bagian, yakni pencemaran laut yang menghancurkan rumput laut milik petani, dampak pencemaran terhadap hasil tangkapan nelayan, dan terhadap kesehatan warga di NTT.
"Gugatan ini ditangani dua pengacara, yakni Ben Slade dari Kantor Pengacara Maurice Blackburn Lawyers di Australia dan Greg Phelps dari Ward Keller, kantor pengacara terbesar di Australia Utara," kata Daniel.
Kilang Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor meledak pada 21 Agustus 2009 sehingga mencemari wilayah perairan budi daya rumput laut di 11 kabupaten dan satu kota di NTT yakni Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, Kupang, Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Kota Kupang.
© Copyright 2024, All Rights Reserved