Bidang hukum di saat ini masih menjadi mata rantai terlemah dalam kehidupan kenegaraan. Masih banyak persoalan yang dihadapi dan perlu segera diselesaikan. Salah satunya penegakan hukum atas masalah korupsi. Walau kelihatannya sekedar bagian dari penegakan hukum, namun memiliki akar kultur yang lebih dalam.
"Korupsi bukanlah merupakan masalah baru di Indonesia. Korupsi terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Saat VOC memerintah Hindia Belanda, VOC bangkrut karena korupsi oleh para pejabatnya yang berkolusi dengan pembesar feodal kita sendiri sehingga akhirnya VOC terpaksa dibubarkan," kata Ketua Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Pontjo Sutowo kepada politikindonesia.com usai Diskusi Panel Serial Ke-8 bertema "Pembentukan dan Pembinaan Hukum", di Jakarta, Senin (04/12).
Dijelaskan, sebenarnya istilah "Indonesia sebagai negara hukum", tidak tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Namun, istilah tersebut tercantum jelas dalam batang tubuh UUD 1945 yang keterangannya tercantum secara gamblang dalam Penjelasan Umum UUD 1945. Ada dua istilah, yaitu negara kita bukan negara kekuasaan, tetapi negara hukum dan norma yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 berstatus sebagai norma dasar kenegaraan.
"Norma tersebut, artinya pembentukan dan penegakan hukum nasional merupakan tugas konstitusional yang merupakan wahana dan tolok ukur berhasil tidaknya kita membentuk negara. Memang tidak mudah melaksanakan kewajiban konstitusional tersebut. Karena pembentukan dan penegakan hukum tidaklah sekedar membuat dan melaksanakan pasal-pasal peraturan perundang-undangan saja," ungkapnya.
Menurutnya, kesulitan masyarakat dalam memberikan keabsahan hukum dalam pembentukan hukum tidak kalah berat. Hal itu karena banyak peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang harus dievaluasi, diamandemenkan atau diganti. Dengan keabsahan hukum tersebut semakin runyam dalam era reformasi seperti saat ini. Sehingga diyakini, banyak UU yang dibuat sejak tahun 1999 bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara serta pasal-pasal dalam UUD 1945.
"Faktor inkonsistensi tersebut diduga berasal dari intervensi berbagai lembaga luar negeri. Selain itu, kenyataan juga membuktikan sangat jarang bisa diselesaikan RUU yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ditetapkan DPR RI. Namun kita beruntung, bukan saja karena masyarakat cukup peka terhadap inkonsistensi itu, tapi juga karena adanya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang tertinggi untuk mengambil keputusan terhadap uji materi yang diajukan kepada lembaga tinggi megara itu," ulasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Kejaksaan RI, Satya Arinanto mengakui sistem hukum di Indonesia hingga saat ini masih menjadi permasalahan mendasar. Hal itu terjadi karena kurangnya independensi dan akuntabilitas kelembagaan hukum. Padahal keduanya dua sisi mata uang logam. Bahkan, mengenai kualitas sumber daya manusia juga masih memerlukan peningkatan. Mulai dari peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan hingga tingkat pelaksana dan penegak hukum.
"Kedepannya akan menghasilkan sistem peradilan yang transparan dan terbuka. Oleh sebab itu, diperlukan juga pembinaan satu atap oleh Mahkamah Agung sebagai upaya untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan pengadilan yang tidak memihak. Sehingga kejahatan korupsi yang merampas uang negara bisa ditindak tanpa memandang siapa dia," ucapnya.
Dia membeberkan, gagalnya hukum di Indonesia terjadi karena ada kelemahan dari hukum yang ada di Indonesia sendiri. Seperti adanya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaannya. Kurangnya independensi dan akuntabilitas kelembagaan hukum. Terakhir, timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat.
"Disamping itu pula, masih adanya keragaman hukum. Di Indonesia masih terdapat sekitar 400 peraturan dari masa kolonial yang masih berlaku hingga saat ini. Karena itu, pada saat ini sangat diperlukan politik pembangunan hukum nasional. Di antaranya memperbaharui atau mengganti peraturan hukum dari masa kolonial yang masih berlaku melalui Aturan Peralihan UUD 1945. Menciptakan hukum baru yang secara utuh bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional dalam era globalisasi," tandasnya.
Dikatakan, Indonesia saat ini perlu melakukan penanggulangan krisis di bidang hukum. Tujuannya hanya untuk menegakan hukum dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan dan ketentraman masyarakat. Selain itu, juga perlu dilakukan reformasi di bidang hukum. Hal itu untuk mendukung penanggulangsn krisis di bidang hukum.
"Sebenarnya politik pembangunan hukum nasional sudah diarahkan untuk menanggulangi krisis di bidang hukum. Sehingga hukum bisa ditegakan dan dilaksanakan dengan sasaran untuk menciptakan ketertiban, ketenangan dan ketentraman masyarakat. Sehingga budaya hukum di semua lapisan masyarakat bisa berkembang untuk terciptanya kesadaran dsn kepatuhan hukum negara," imbuhnya.
Sementara itu, Mantan Sekretaris Negara Kabinet Gotong Royong periode 2001-2004 pada masa pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri, Bambang Kesowo menambahkan sebenarnya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional adalah urusan manusia Indonesia sekarang dan nanti. Karena manusia Indonesia-lah yang menjadi pelaku dan sekaligus penentu. Namun demikian, dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional tersebut tidaklah mudah. Banyak kendala dalam mewujudkannya, seperti lemahnya mentalitas, karakter, kepribadian, ataupun jatidiri bangsa Indonesia.
"Sebagai akibatnya, harapan untuk menjadikan hukum sebagai panglima dalam menegakkan cita-cita dan tujuan nasional menjadi terkendala karenanya. Sehingga hal tersebut merupakan bagian dari ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) bagi masyarakat Indonesia. Makanya, diperlukan kualitas manusia yang berani dan bisa mengatasinya kondisi hukum di Indonesia saat ini," ulasnya.
Untuk itu, lanjut, Bambang, diperlukan segera adanya pembangunan karakter dan kualitas manusia Indonesia, pembenahan aturan dasar, serta penataan ulang kelembagaan negara baik yang berkenaan dengan segi substansi maupun prosedur. Semua itu harus dilakukan secara tegas tanpa keraguan dan harus dilaksanakan secara secepatnya. Karena sikap semu dan ragu dalam melaksanakannya, juga hanya akan menjadi ATHG itu sendiri.
"Bagaimana bentuk dan cars membangun mentalitas, karakter dan kualitas manusia pastilah sebuah proses panjang dan harus berkesinambungan. Membangun dan apalagi memelihara mentalitas dan kualitas mereka untuk menegakkan jatidiri, bukanlah proses yang sekali jadi. Oleh sebab itu, lembaga yang bersifat tetap dan objektif bisa dijadikan sandaean dalam pendidikan. Jadi, bukan jalan revolusi yang dipakai untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved