Reformasi birokrasi yang dijalankan saat ini masih sebatas niatan. Kalaupun ada, hanya jalan di tempat. Penyebab utamanya karena tidak ada payung hukum yang pasti. Karena itu, ke depan, disamping mempersiapkan grand designs juga perlu disiapkan payung hukum yakni UU Kode Etik Penyelenggara Negara.
Hal itu diungkapkan Mustokoweni Murdi, kepada politikindonesia.com usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat Komisi II dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) EE Mangindaan di Gedung Parlemen, Jakarta.
Politisi perempuan Partai Golkar itu mengatakan, banyak aparat birokrasi di bawah yang belum mengerti reformasi birokrasi dan untuk apa pembuatan grand designs itu. Mereka juga tidak tahu remunerasi itu untuk apa.
”Bagaimana mereka akan menjalankan reformasi jika mereka tidak tahu kegunaan dari reformasi itu sendiri,” ujar perempuan yang akrab disapa Weni.
Dari hasil kunjungan ke beberapa daerah, lulusan program Notariat Universitas Airlangga itu melihat belum efektifnya pelaksanaan reformasi birokrasi. Karena tidak ada aturan yang mengikat. Kode etik yang diterapkan secara internal, terbukti tidak ampuh untuk memerangi birokrat nakal.
Weni menyontohkan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan yang pernah dijadikan contoh. Nyatanya di dalam banyak mafianya. Karena itu katanya, penyusunan undang-undang, menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
“Hal itu penting agar masyarakat juga mengetahui pada batasan mana hak dan kewajiban itu boleh dijalankan para birokrat, dan pada batasan mana tidak,” ujar politisi Golkar kelahiran Malang, 25 Desember 1952 itu. Weni juga melihat pentingnya UU dimaksud untuk memudahkan dewan dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Sedang Menpan mengakui rumitnya mereformasi birokrasi. Hal itu disebabkan tidak jelasnya standar kompetensi jabatan di masing-masing instansi. Terkait hal itu, Menpan sependapat dengan Weni, perlunya UU terkait akuntabilitas kerja para birokrat.
“Selama ini, pelaksanaanya hanya memakai Inpres. Sistem dan mainset birokrasi harus diubah, agar reformasi birokrasi berjalan efektif,” ujarnya.
Menpan menolak anggapan bahwa reformasi birokrasi identik dengan remunerasi. Menurutnya tujuan reformasi birokrasi bukan itu. Meski diakui, pemberian remunerasi perlu sebagai sarana dan cara untuk meningkatkan kinerja aparatur Negara kea rah yang lebih baik.
Menpan mengingatkan, tujuan utama reformasi birokrasi yakni meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik. Menpan juga meminta semua pihak untuk tidak mencurigai remunerasi sebagai foya-foya atau pemborosan uang Negara.
Menurutnya, remunerasi baru bisa diberikan setelah mendapat persetujuan dari Komite Pengarah yang dipimpin Wakil Presiden Boediono. Sebelum diberikan, Komite Pengarah akan meneliti dan mengevaluasi dulu. “Jadi tidak asal-asalan,” ujarnya.
Grand Designs
Saat ini, Kementerian PAN tengah menyiapkan grand designs yang jelas, dengan membuat rancangan induk yang berlaku sejak tahun 2010-2025. “Pelaksanaannya harus konseptual, tidak parsial seperti yang lalu,” ujar Mangindaan.
Grand desain tersebut berisi langkah-langkah umum dengan penataan dan restrukturisasi organisasi birokrasi. Sehingga harus ada laporan karakteristik dari instansi terkait. Saat ini semua sedang berjalan. Termasuk pemerintah daerah.
Dalam penyusunannya, daerah harus menyesuaikan dengan karakteristik masing-masing. Tidak diseragamkan. Mengingat ada daerah yang potensial di bidang pertanian, sedang daerah lainnya berpotensi di bidang pariwisata atau pertambangan.
“Untuk itu, perlu ada reorganisasi dan restrukturisasi masing-masing instansi dan daerah,” katanya. Setelah itu, proses baru bisa dilakukan. Dengan demikian ada Standar Operating Procedures (SOP) dari setiap instansi secara jelas, sehingga tidak ada tumpang tindih pekerjaan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved