Ketidakmampuan Polaris Software Laboratories Ltd, memenuhi kewajibannya merealisasi sistem komputer perbankan di Bank Artha Graha (BAG), berbuntut menjadi sengketa. BAG berniat menuntut Polaris sebesar US$10 juta di pengadilan arbitrase Singapura dan juga menuntut secara pidana karena telah memenuhi unsur-unsur pasal 378 juncto 55 KUHP.
SUDAH jatuh tertimpa tangga pula. Bisa jadi, gambaran tak mengenakkan itu kini tengah dilakoni Bank Artha Graha (BAG). Bagaimana tidak. Belum lagi menikmati rancangan sistem komputer perbankan yang ditawarkan Polaris Software Laboratories Ltd., BAG malah dituding telah melakukan penyekapan terhadap dua petinggi perusahaan asal India itu, Arun Jain dan Rajiv Malhorta.
Tudingan itu bermula dari pengaduan pihak Polaris ke Kedubes India bahwa mereka disandera pihak BAG sebelum diserahkan ke pihak kepolisian. Padahal, menurut Kuasa Hukum BAG, Andrianus Wewengkang, pihaknya merasa tidak pernah melakukan penyanderaan terhadap dua petinggi Polaris itu. “Itu merupakan berita berita tidak benar,” tandasnya. Yang terjadi sebenarnya, kata Wewengkang, justru BAG yang dirugikan oleh ulah Polaris selama ini. Dan itu sama artinya telah terjadi pelanggaran hukum, baik secara pidana maupun perdata.
Wewengkang menjelaskan, perseteruan BAG dengan Polaris bermula ikatan kontrak senilai US$1,3 juta dalam perjanjian jual beli jasa. Dalam hal ini, Polaris selaku kontraktor menawarkan jasa membangun sistem piranti lunak untuk keperluan spesifik operasional perbankan (Bank Ware) di BAG. “Namun, dalam kenyataannya, Polaris tidak dapat memenuhi kewajibannya. Bahkan terkesan mempermainkan dengan cara mengulur-ulur waktu dan justru BAG yang menjadi korban,” ungkapnya kepada wartawan seraya menyebutkan Polaris telah menerima pembayaran awal sebesar US$660 juta dari nilai kontrak yang ada.
Ditegaskan oleh Anton B Hudyana, Direktur Utama BAG, sejak Letter of Intent (LoI) ditandatangani pada Januari 2001, disusul Memorandum of Understanding (MoU) pada Juli 2001, dan kesepakatan kerja yang dimulai sejak November 2001, jaringan yang dipasang oleh Polaris tidak satu pun yang dapat digunakan secara baik. “Setiap uji coba perangkat yang sudah dipasang, macet, karena perangkat itu terkontaminasi virus,” ungkapnya.
Kemudian, kata Anton, setiap kali perangkat jaringan sistem operasional itu diuji coba, selalu ada masalah. BAG berulang kali mengajukan komplain kepada Polaris. Dan beberapa kali pula Polaris selalu meminta diberi kesempatan untuk memperbaikinya. Setelah BAG memberikan kesempatan hingga enam kali kepada Polaris, baru BAG memutuskan (November 2002) untuk tidak melanjutkan kontrak kerja tersebut.
“Keputusan manajemen BAG menghentikan kontrak kerja dengan Polaris itu, karena Polaris meminta kesediaan BAG mengganti sistem yang disepakati pada awal kontrak kerja ditandatangani dengan sistem yang lain. Mereka (pihak Polaris, red.) mengaku bahwa perangkat yang selama ini dipasang dan diuji coba memang tak bisa dioperasikan,” papar Anton.
Akibatnya, selain secara finasial, BAG juga mengalami kerugian karena system yang dibangun jadi terhambat. BAG berencana untuk menuntut Polaris minimal US$10 juta di Pengadilan Arbitrase Singapura. “Jumlah itu belum termasuk business opportunity loss yang dialami klien kami, karena keterlambatan penggunaan sistem piranti lunak untuk pengembangan bisnis perbankan BAG,” kata Wewengkang.
Bukan cuma itu. BAG pun telah ambil ancang-ancang untuk menggelontorkan tuntutan lain, yaitu pidana. Memang, aku Wewengkang, pihak Polaris telah mengajak damai, dan pihak BAG telah menyambut baik ajakan itu. Namun, “Perlu diingat, perdamaian secara perdata itu, tidak mengurangi hak klien kami untuk tetap melanjutkan proses hukum pidana sesuai aturan hukum yang ada di Indonesia,” tegasnya.
Lantas, dimana aspek pidana dalam masalah tersebut? “Ini sangat jelas menyangkut unsur penipuan yang dilakukan Polaris, karena telah memenuhi unsur-unsur pasal 378 juncto 55 KUHP dan pasal 372 juncto 55 KUHP,” tegas Wewengkang. Lagian, Wawengkang melanjutkan, tidak mungkin pihak kepolisian menahan dua petinggi Polaris itu jika tak terdapat unsur pidana di dalamnya.
Menurutnya, karena hasil kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan isi kontrak, dan atas berbagai pelanggaran terhadap kontrak itu, maka Polaris dapat dianggap telah melakukan tindak pidana penipuan. “Dampak kerugiannya sangat luar biasa,” ujarnya.
Kuasa Hukum BAG lainnya, Victor B. Laiskodat, mengatakan, penipuan yang dimaksud adalah Polaris tidak bisa memenuhi perjanjian. “Janjinya berulang kali. Bahkan, CEO-nya, Rajiv Malhorta, mengatakan bahwa sampai 21 Agustus tidak bisa menyelesaikan, dia pertaruhkan kepalanya, bahkan mengebiri anak buahnya,” ungkap Victor.
Setelah meminta beberapa kali penundaan dan ditolak, Polaris minta bertemu dengan pihak BAG pada 13 Desember. “Ternyata, saat dilakukan pertemuan, Rajiv menelepon Dubes India dan mengaku ditahan di sini (kantor BAG). Lalu, datang orang dari Kedutaan Besar India dan marah-marah,” jelas Victor lagi.
Tak lama kemudian, datang tim dari Polda Metro Jaya dan menanyakan kepada tim Polaris, apakah benar disandera seperti yang dikatakan Kedubes India. “Jawaban dia nggak. Memang kenyataannya mereka tidak kami tahan kok,” ujarnya.
Guna menindaklanjuti hal tersebut, ujar Victor, berbagai keterangan dan kelengkapan data sudah diminta pihak Mabes Polri,” lanjutnya.
[Intervensi Pemerintah India]
SAYANGNYA, belum tuntas penyelesaian kasus penipuan itu sampai ke meja hijau, pihak kepolisian Indonesia telah melepaskan Arun Jain dan Rajiv Malhorta dari tahanan, dan kembali ‘bebas’ terbang ke negerinya, India. “Penangguhan dua warga negara India itu dilakukan sesuai dengan prosedur. Kedutaan Besar India memberi jaminan bahwa kedua orang itu merupakan warga negara yang baik. Jadi, ini murni prosedur hukum, tak ada intervensi dari mana pun,” kilah Lucas, Kuasa Hukum Polaris.
Padahal, seperti dikutip AFP, sumber di Kedubes India mengungkapkan bahwa Menteri Luar Negeri India Yaswant Sinha telah menghubungi Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda berkaitan dengan masalah itu. Menurut sumber tadi, Menlu Yaswant menyampaikan perhatian yang mendalam terhadap kasus yang telah menimbulkan protes keras masyarakat di India.
Indikasi adanya intervensi tersebut kian dipertegas dengan dipanggilnya Duta Besar Indonesia untuk India, Zakaria Soemintaatmadja sampai dua hari berturut-turut oleh RM Abhyankar, Direktur Urusan Asia dan Afrika Utara Departemen Luar Negeri India. “Langkah tersebut sangat tidak biasa di kalangan diplomat selama ini,” kata Wewengkang. Bahkan, PM India Atal Bihari Vajpayee ‘sempat’ membahas masalah itu dengan Presiden RI Megawati Soekarnoputri.
Namun, Wewengkang tetap optimis bahwa kasus tindak pidana penipuan itu takkan berhenti di tengah jalan. Meski, nuansa intervensi dari beberapa pihak sangat kuat terasa. “Kami berharap polisi tidak terpengaruh dan terus melanjutkan penyidikan,” katanya dengan pasti. {lihat headline & wawancara}
© Copyright 2024, All Rights Reserved