Pontjo Sutowo dan Ali Mazi, terdakwa kasus perpanjangan hak guna bangunan (HGB) Hotel Hilton, masing-masing dituntut tujuh tahun penjara dengan denda masing-masing Rp500 juta, subsider enam bulan penjara. Selain itu, HGB 26/Gelora dan HGB 27/Gelora dikembalikan kepada negara dalam hal ini Sekretariat Negara (Sekneg) sebagai Badan Pengelola Gelora Bung Karno.
Hal tersebut disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang pembacaan tuntutan kasus Hilton di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (1/5). JPU juga menyatakan bukti dalam persidangan yang telah dihadirkan dalam kasus tersebut juga akan digunakan sebagai bukti dalam kasus serupa dengan terdakwa lain, yaitu Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta, Robert Jeffry, dan Kepala Kantor Pertahanan Jakarta Pusat, Roni Yudistiro.
Tuntutan JPU ini lebih ringan dari ancaman hukuman maksimal sesuai pasal 2 ayat 1 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu pidana penjara seumur hidup.
Menanggapi tuntutan jaksa tersebut, OC Kaligis penasehat hukum Ali Mazi menilai tuntutan jaksa itu berbahaya. "Ini bahaya bagi dunia internasional. Jaksa bukan pihak yang berwenang untuk tidak memberlakukan HGB ," ujar Kaligis.
Kaligis juga menampik permintaan JPU kepada Majelis Hakim yang meminta bila suatu saat pemerintah RI digugat suatu pihak, terkait kasus ini, dan kalah, maka para terdakwalah yang diwajibkan membayar secara tanggung renteng. "Sudah ditandatangani di Bangkok Bank (agunan HGB Hilton), lalu sekarang dinyatakan tidak berlaku. Lalu kalau (RI) dituntut (oleh Bangkok Bank), masak ya dibebankan kepada kita," ujar Kaligis berapi-api.
"Jadi mulai hari ini, jangan ambil sertifikat dari Indonesia. Soalnya bisa ada pencabutan hak. Ini berbahaya bagi dunia agunan," lanjut Kaligis.
Direktur Utama PT Indobuildco, Pontjo Sutowo, dan mantan kuasa hukumnya yang kini menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif, Ali Mazi, disidangkan sebagai terdakwa kasus korupsi perpanjangan HGB Hotel Hilton sejak 3 Oktober 2006. Keduanya didakwa secara bersama-sama memperpanjang HGB Hotel Hilton yang dikuasai oleh Sekneg, melalui prosedur yang tidak sah sehingga berpotensi merugikan negara hingga Rp1,936 triliun.
Perhitungan kerugian negara itu didasarkan pada perhitungan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gatot Subroto tahun 2003. PT Indobuildco mendapatkan haknya untuk mengelola kawasan seluas 13 hektar di kawasan Senayan atas permintaan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, guna menyediakan fasilitas penginapan untuk penyelenggaran konferensi Asia Pasifik pada 1974.
Untuk itu, PT Indobuildco mendapatkan sertifikat HGB No 26 dan 27 untuk masa 30 tahun, sejak 1973 hingga 2003. Pada 1989, Kepala BPN pusat mengeluarkan SK No169 yang bertujuan mengamankan aset-aset negara dan menyatakan kawasan Gelora Senayan, termasuk kawasan Hotel Hilton, berada di atas Hak Pengelolaan Lahan No 1 atas nama Sekneg.
Dengan adanya SK itu, maka PT Indobuildco selaku pemegang HGB harus melepaskan haknya sebelum masa HGB-nya habis dan membuat perjanjian kerja sama dengan Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS) selaku pemegang HPL, guna memperoleh HGB baru yang berada di atas HPL. Namun, PT Indobuildco memperpanjang sendiri HGB No 26 dan 27 tanpa terlebih dahulu membuat kerja sama dengan BPGS.
PT Indobuildco kemudian mendapat perpanjangan HGB selama 30 tahun lagi, sejak 2003 hingga 2033, tanpa menyebutkan status HGB itu berada di atas HPL atas nama Sekretariat Negara. HGB itu kemudian dijadikan jaminan utang oleh PT Indobuildco pada Bangkok Bank Public senilai 100 juta dolar AS dan pada Bank Dagang Negara tanpa sepengetahuan BPGS selaku pemegang HPL.
© Copyright 2024, All Rights Reserved