TAK ada yang lebih menarik dalam panggung politik Jakarta selain sepasang calon yang tampil sejumawa seperti Pramono Anung dan Rano Karno.
Dengan kemenangan 50,07 persen suara, pasangan nomor urut 03 ini melangkah menuju kursi kekuasaan sambil menjanjikan hal yang tampaknya lebih fantastis dari film-film Si Doel.
Janji mereka sederhana tapi penuh hiperbola: menyelesaikan semua masalah Jakarta dalam 100 hari kerja. Itu jika mereka menang bertarung di MK. Ya, Anda tidak salah baca -- semua masalah. Yakin mereka bisa? Atau Anda justru skeptis sambil bergumam, "Ah, itu kan hanya judul berita buatan wartawan yang ikut berkampanye."
Dalam pidato kampanye akbar di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Pramono dengan percaya diri menjanjikan segalanya secara singkat. Ia menyebut Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS), hingga perhatian khusus bagi lansia dan penyandang disabilitas. Namun, detail lengkapnya baru terungkap belakangan, setelah Pilkada.
Di sinilah, dari penjelasan tim pemenangan Pram-Rano, mulai terlihat bahwa "program baru" mereka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan gubernur pendahulu mereka, Anies Baswedan. Mari kita bahas satu per satu "inovasi" mereka yang ternyata sudah sangat akrab di telinga warga Jakarta.
Pertama, mengembalikan warga Kampung Bayam ke Kampung Susun di JIS. Program ini seolah déjà vu, mengingat Anies yang memulai pembangunan Kampung Susun tersebut. Kedua, peningkatan layanan kesehatan untuk lansia. Program ini hanya seperti katalog ulang dari kebijakan yang sudah ada sebelumnya.
Belum cukup? Pasangan Pramono-Rano menjanjikan kantor pelayanan KJP di setiap kecamatan. Lagi-lagi, ini sekadar revisi dari sistem layanan satu pintu yang diterapkan sebelumnya. Ditambah, mereka menawarkan akses wisata edukasi gratis bagi penerima KJP --sebuah upgrade kecil dari program yang sudah berjalan.
Janji-janji lain, seperti membangkitkan kembali sumur resapan, juga tidak baru. Begitu pula janji menggratiskan LRT, MRT, dan Transjakarta untuk 15 golongan masyarakat --sebuah kebijakan lama yang, meskipun menarik, jelas akan membebani APBD.
Namun, ada juga beberapa program yang memberikan sentuhan baru, seperti Benyamin S Award untuk pelestarian budaya Betawi. Ini pasti terdengar manis bagi para seniman lokal. Selain itu, mereka menjanjikan job fair setiap tiga bulan di tingkat kecamatan, yang menyasar kaum pengangguran.
Mengamati program 100 hari kerja ini, sulit mengabaikan kemiripannya dengan program-program Anies Baswedan. Taman buka 24 jam? Ini hanya melanjutkan komitmen Anies untuk ruang publik inklusif. Bantuan operasional untuk tempat ibadah? Lagi-lagi, ini bukan hal baru.
Bahkan program contract farming untuk stabilitas pangan adalah strategi ketahanan pangan yang pernah diterapkan sebelumnya. Sementara itu, kebijakan yang mengizinkan PPSU hanya dengan ijazah SD menimbulkan pertanyaan baru tentang kualitas tenaga kerja di masa depan.
Di balik kemenangan tipis pasangan ini, fakta bahwa sebagian besar warga Jakarta memilih golput atau mendukung paslon lain menunjukkan betapa terpolarisasinya masyarakat. Paslon 01 dan 02, meskipun kalah, tetap membawa suara signifikan yang mencerminkan aspirasi beragam.
Dan mereka yang golput? Sebanyak 3.489.614 orang atau 42,48% dari total pemilih tak menggunakan hak suara mereka. Ini adalah kelompok besar yang mencerminkan skeptisisme terhadap janji-janji besar yang sering kali kosong.
Keberanian Pramono dan Rano menjanjikan "solusi semua masalah" dalam 100 hari patut diacungi jempol. Atau mungkin cukup diberi tepuk tangan perlahan, mengingat kejumawaan mereka ini seperti lirik lagu Kisah Tak Sampai: "Indah terasa indah."
Namun, yang dibutuhkan warga Jakarta bukan sekadar janji besar, melainkan pemimpin yang mampu mewujudkan eksekusi nyata. Jika tidak, semua ini hanya akan menjadi catatan sejarah tentang politisi yang lebih sibuk berbicara dari pada bekerja.
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Alquran
© Copyright 2024, All Rights Reserved