Profesi wartawan tetap menjadi profesi yang rentan terhadap kekerasan. Dalam bulan Juni 2002 ini ada empat kasus yang menimpa para wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik mereka di beberapa tempat, yang semuanya dapat dikategorikan sebagai tindakan “main hakim sendiri”.
Pertama, penganiayaan terhadap Bambang Suharno, koresponden Mingguan Suara Rakyat di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pada 18 Juni 2002, Bambang Suharno dianiaya hingga babak belur oleh APK, seorang bandar judi, di Jalan Bintan, Tanjungpinang. Kejadian tersebut diduga gara-gara berita tentang perjudian yang ditulis oleh Bambang Suharno di Mingguan Suara Rakyat.
Kedua, penganiayaan terhadap Yudi Saputra, kameraman SCTV di Pekanbaru, Riau, pada 26 Juni 2002. Ketika meliput pesawat Jatayu Airlines (rute Medan-Pekanbaru-Jakarta) yang gagal melakukan take off di Bandara Pekanbaru, Yudi Saputra ditendang oleh petugas security Angkasa Pura II. Kini kasus tersebut ditangani oleh Polsek Bukitraya, Pekanbaru.
Ketiga, penganiayaan atau pengeroyokan oleh petugas Polres Sidoarjo dan Polwil Surabaya, Jawa Timur, terhadap Wisnu Dewabrata, wartawan harian Kompas, pada 26 Juni 2002, ketika tengah meliput unjukrasa buruh PT Maspion I. Selain memukul dengan pentungan rotan, polisi merampas dan membanting kamera Nikon FM-2 dan mencabut filmnya, merampas kartu identitas, membanting helm dan mencacimaki wartawan.
Keempat, pelecehan terhadap Sahlan Heulut, kameraman SCTV di Ambon, Maluku, pada 27 Juni 2002. Mikropon yang dipegang Sahlan Heulut tiba-tiba “ditampar’ oleh Kapolda Maluku Brigjen (Pol) Soenarko, setelah Sahlan Heulut melontarkan pertanyaan. Belakangan, Sahlan Heulut dijemput di rumahnya oleh petugas Polres Ambon, dipanggil paksa, dibawa ke ruang kerja Kapolda Maluku untuk diinterogasi.
Menurut Koordinator Nasional PWI Reformasi Budiman S Hartoyo, keempat kasus tersebut membuktikan, sampai saat ini masih ada warga masyarakat, bahkan aparat penegak hukum, yang belum sepenuhnya memahami profesi wartawan yang dilindungi oleh undang-undang, khususnya Undang-Undang Pers Nomor 40/1999.
Sehubungan dengan itu, PWI-Reformasi mengimbau kepada segenap warga masyarakat yang merasa tidak puas, atau merasa telah dirugikan oleh pemberitaan pers, hendaknya menempuh tatacara sesuai aturan yang berlaku dengan mengirimkan Hak Jawab. Jika Hak Jawab diangap tidak memuaskan, yang bersangkutan dipersilakan menempuh jalur hukum.
Imbauan tersebut juga berlaku bagi para pejabat, aparat keamanan, dan aparat hukum, yang seharusnya justru dapat menjalin kerjasama yang sebaik-baiknya dengan korps wartawan.
Lebih lanjut dijelaskan, sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Pers Nomor 40/1999, dalam menjalankan tugas profesionalnya wartawan dilindungi oleh undang-undang, sementara tindakan apa pun yang mengakibatkan terhalangnya tugas profesional wartawan dapat diancam hukuman paling lama 2 (dua) tahun, atau denda maksimal Rp 500 juta.
Dalam pernyataannya yang diterima redaksi politikindonesia.com, PWI Reformasi menyesalkan dan mengutuk sekeras-kerasnya tindakan “tindakan main hakim sendiri” tersebut, dan menuntut kepada aparat penegak hukum agar segera menuntaskan semua kasus tersebut serta menindak tegas para pelakunya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
© Copyright 2024, All Rights Reserved