Lembaga hakim komisaris muncul dalam draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Salah satu tugasnya adalah menentukan apakah proses yang dilakukan penyidik sudah benar atau belum hingga dapat diajukan ke persidangan atau tidak. Lembaga ini untuk menggantikan lembaga praperadilan yang sudah ada sehingga diharapkan kinerja aparat penegak hukum akan menjadi lebih baik.
Hal itu diungkapan oleh pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Teuku Nasrullah saat debat publik RUU KUHAP di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham), Selasa (2/4). ”Pembentukan lembaga hakim komisaris ini untuk menggantikan lembaga praperadilan saat ini,” ungkap Teuku Nasrullah.
Dengan lembaga baru ini, lanjut Teuku, maka ke depan ada mekanisme pelaporan oleh penyidik pada hakim komisaris terkait sebuah perkara yang ditangani. ”Dengan adanya hakim komisaris, penegak hukum yang melakukan penyelidikan perkara tidak lagi bisa bekerja seenaknya,”
Mengenai jabatan hakim komisaris akan diseleksi di tiap pengadilan tinggi. Sedangkan hakim komisaris nantinya dipilih dari hakim pengadilan negeri di pengadilan tinggi pada wilayah bersangkutan. Hakim komisaris tersebut bertugas dalam waktu dua tahun.
Sesudah dua tahun bertugas, hakim komisaris akan dikembalikan ke pengadilan negeri tempat dia bertugas sebelumnya. Selama belum terisi kembali, tugas hakim komisaris dijalankan oleh wakil ketua pengadilan tinggi.
Sementara itu pendapat berbeda diutarakan oleh pakar hukum acara pidana Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Teguh S. Teguh menyatakan dirinya masih belum bisa menerima rencana tersebut jika hakim komisaris dipilih dari hakim biasa di tingkat pengadilan negeri.
Jika memang ada hakim komisaris, hendaknya perlu mencontoh negaranegara maju. ”Kalau di negara maju, hakim komisaris diambil dari pengacara senior, hakim senior, atau jaksa senior hingga cukup pengalaman untuk menduduki jabatan tersebut,” pinta Teguh S.
[Kewenangan Hentikan Penuntutan]
Sementara itu, Prof Andi Hamzah selaku Ketua Tim Perumus RUU KUHAP mengemukakan dalam draf RUU KUHAP juga akan mengatur kewenangan bagi jaksa untuk menghentikan penuntutan. Perkara yang dapat dihentikan antara lain perkara kecil atau ringan, perkara yang pelakunya berumur 70 tahun ke atas, perkara yang ancaman pidananya tidak lebih dari lima tahun, serta untuk perkara yang kerugiannya sudah diganti.
Selain itu, menurut Andi saat mempresentasikan rancangan KUHAP baru, penghentian penuntutan juga bisa meliputi tindak pidana yang diancam tidak lebih dari satu tahun penjara dan kerugian yang telah diganti. Ini mengadopsi dari beberapa negara yang telah menerapkan penyelesaian singkat suatu perkara.
Di beberapa negara, jaksa, menurut Andi, diberi wewenang mengenakan sanksi tanpa perlu melanjutkan perkara ke pengadilan. Contohnya, di Belanda, telah menerapkan suatu sistem yang mengatur bahwa jaksa dapat mengenakan denda administratif terhadap perkara ringan, yaitu yang ancaman pidana penjaranya enam tahun ke bawah.
Contoh lainnya di Rusia yang dalam pasal 25 KUHAP tahun 2003 dan pasal 76 KUHAP tahun 1996 telah memperkenalkan aturan baru, yakni jika perkara ringan atau sedang dan korban telah berdamai dengan tersangka maka perkara itu bisa dihentikan jika tersangka telah mengganti kerugian kepada korban.
Hamid Awaluddin selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) mengatakan bahwa hasil draf RUU KUHAP rencananya diujikan kepada publik agar bisa diperdebatkan di hadapan akademisi atau praktisi. ”Debat kali ini hanya debat awal yang akan berlanjut dengan debat-debat setelah diuji publik nanti,” ujar Hamid.
Setelah itu, lanjut Hamid, pihak perumus akan mempresentasikan di hadapan kabinet lalu diberikan kepada DPR sekiatr bulan Agustus. ”Penyerahan draf RUU KUHAP ke DPR pada rencananya bulan Agustus tahun ini,” ungkap Hamid lebih jauh.
© Copyright 2024, All Rights Reserved