Kontroversi menjelang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sudah dibahas DPR selama tiga tahun, masih terus berlanjut. RUU yang dijadwalkan akan disahkan dalam rapat paripurna DPR, Senin (25/11/2002) mendatang dinilai Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) masih otoriter karena peran pemerintah masih dominan.
"Kami kecewa karena RUU ini lebih otoriter dibanding UU No 24/1997 tentang Telekomunikasi. DPR terkesan belum bisa mempercayai dan belum siap jika rakyat yang mengatur penyiaran tersebut," kata Koordinator MPPI Leo Batubara akhir pekan lalu di Jakarta.
Menurut Leo, ada 12 pasal dalam RUU Penyiaran tersebut yang menunjukkan masih kuatnya intervensi pemerintah dalam penyelenggaraan penyiaran. Di negara demokrasi seperti Amerika Serikat, Korea Utara dan Afrika Selatan, kata Leo, badan pengelola penyiarannya adalah publik independen {(an independent regulatory body)}, bukan pemerintah seperti yang diterapkan di negara otoriter.
Namun, anggota Pansus Djoko Susilo menampik penilaian Leo Batubara tersebut. Mantan wartawan itu optimis dengan RUU Penyiaran yang akan disahkan DPR pekan depan tersebut. Anggota Fraksi Reformasi DPR itu tetap optimistis dengan RUU Penyiaran yang dibahas DPR.
Dia setuju dengan kritik yang dilontarkan Leo Batubara, namun menurutnya, kondisi masyarakat Indonesia belum bisa disamakan dengan Amerika Serikat maupun Australia. Perlunya keterlibatan pemerintah, kata Djoko, karena publik Indonesia belum bisa benar-benar independen.
Dia mencontohkan bagaimana pemilik media di Indonesia menggunakan medianya untuk mempengaruhi publik demi kepentingannya. Sementara soal kontroversi mengenai dicantumkannya nama Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) dalam RUU Penyiaran, Joko Susilo mengatakan, kedua badan penyiaran itu memang seharusnya menjadi lembaga penyiaran publik dan disebutkan secara eksplisit dalam RUU Penyiaran. Selain karena mempunyai alasan historis sebagai pemersatu bangsa, pencantuman dalam RUU Penyiaran merupakan proteksi dari upaya menjual RRI dan TVRI.
"Pencantuman TVRI dan RRI itu tidak menyalahi pakem perundang-undangan. Ini pun praktik biasa di negara-negara maju seperti dalam statuta BBC di Inggris, jelas sekali disebutkan radio publik adalah BBC," kata Djoko.
Sementara itu, Menteri Negara (Menneg) BUMN Laksamana Sukardi meminta agar DPR tidak mencampuri terlalu jauh urusan eksekutif. Dalam persoalan RRI/TVRI yang berstatus Perusahaan Jawatan (Perjan) misalnya, adalah urusan eksekutif.
Laksamana juga membantah pihak eksekutif akan menjual RRI dan TVRI seperti yang dilontarkan Djoko Susilo. Menurut Laksamana, isu bahwa RRI dan TVRI akan dijual hanya fitnah belaka, karena pemerintah malah sedang mengkaji bagaimana agar kedua lembaga itu profit dan menjadi {public service obligation}.
© Copyright 2024, All Rights Reserved