Banyak pihak meminta Kejaksaan untuk memilih opsi mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum (deponering) atas kasus Bibit-Chandra agar tidak bisa digugat kembali. Namun, opsi tersebut tampaknya tidak bisa dipilih karena ternyata Kejaksaan tak memiliki alasan kuat untuk memilihnya.
Menurut Dosen Hukum Pidana UI, Rudy Satrio, proses deponering dari sisi hukum membutuhkan suatu pembuktian yang kuat. "Deponering perkara dari sisi hukum harus ada pembuktian yang kuat, sudah tepat keduanya menjadi terdakwa," ujar Rudy dalam diskusi dalam diskusi 'Drama Bibit-Chandra Jilid II' di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (24/04).
Tapi dalam kasus ini, Rudy menilai ada bukti yang tidak terungkap yang menjadi missing link. Dengan adanya missing link ini Kejaksaan tidak bisa membuktikan Bibit-Chandra bersalah. "Untuk tetapkan tersangka tidak ada cukup bukti, ada missing link. Dari Ari Muladi ke KPK, siapa penyampainya, siapa orang KPK yang menerima, itu kan bukti yang penting," jelas Rudy.
Dengan tidak memiliki bukti kuat, maka Kejaksaan tidak dimiliki alasan untuk memilih deponering. "Kalau tidak terbukti maka tidak ada alasan untuk deponering," tuturnya.
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Otto Hasibuan memiliki pandangan berbeda. Menurut dia, kebijakan Kejaksaan dalam menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus Bibit-Chandra dinilai tidak tepat. Seharusnya Kejaksaan lebih memilih opsi deponering atau mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. "Saya setuju itu bisa dihentikan. Kalau dihentikan ada asas oportunitas. Jaksa Agung bisa memilih deponering, mengenyampingkan perkara ini demi kepentingan umum," ujar dia.
Menurut Otto, jaksa telah menyatakan berkas Bibit-Chandra telah lengkap (P21) dan terbukti. Maka yang paling tepat adalah mengenyampingkan perkara ini demi kepentingan umum. "Karena cukup bukti, maka harus dikesampingkan perkara ini," tuturnya.
Dengan mengenyampingkan demi kepentingan umum, lanjut Otto, maka kepentingan semua pihak, baik Jaksa Agung maupun Bibit-Chandra telah diakomodir di dalamnya. Jadi tidak akan bisa lagi dipersoalkan kasus tersebut oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. "Itu sudah menjadi kewenangan Jaksa Agung demi kepentingan umum, kita tidak bisa ribut," tambahnya.
Sementara itu, Anggodo Widjojo dianggap tidak memiliki posisi hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan praperadilan atas SKPP Bibit-Chandra. Yang memiliki posisi adalah Anggoro karena dia sebagai korban dalam perkara Bibit. Anggoro yang saat ini berada di luar negeri pun diminta mengajukan praperadilan sendiri. "Pihak yang secara hukum mempunyai hak mengajukan praperadilan sebagai pihak pemohon," ujar Rudy.
Dikatakan Rudy, dalam putusan pengadilan PN Jaksel yang menyatakan SKPP tidak sah, yang berkepentingan adalah pihak ketiga yaitu Anggoro dan terlapor, Bibit-Chandra. Anggodo tidak memiliki posisi hukum. "Anggodo tidak punya posisi pemohon karena dia bukan korban," tuturnya
Oleh karena itu, Anggoro diminta untuk datang ke Indonesia dan menjalani proses hukum Pengacara Bibit-Chandra, Alexander Lay, bahkan menantang Anggoro untuk mengajukan praperadilan sendiri. "Anggoro silakan datang ke Indonesia, menempuh proses hukum, mengajukan praperadilan, jangan minta Anggodo," kata Rudy.
© Copyright 2024, All Rights Reserved