Stunting atau masalah kurang gizi kronis pada anak, masih menjadi salah satu permasalahan gizi di Indonesia yang belum sepenuhnya bisa diberantas. Stunting, bukan saja dapat menimbulkan masalah kesehatan pada anak, tapi juga mengancam kecerdasan dan daya siang anak bangsa.
Ketua Bidang Organisasi dan Tata Laksana DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Kresnawan mengatakan, dari Riset Kesehatan Dasar pada 2013, prevalensi Stunting di Indonesia masih tinggi, mencapai 37,2 persen. Angka prevalensi tersebut juga lebih tinggi dari beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Sedangkan di Asia hanya Laos, Kamboja dan Timor Leste yang memiliki angka Stunting lebih tingggi dari Indonesia.
"Tingginya angka Stunting di Indonesia mengancam para generasi muda. Terutama dalam hal kesehatan dan kecerdasan. Karena bayi yang lahir stunting, tingginya tidak akan bisa normal hingga dewasa. Selain risiko kesehatan, bayi dengan Stunting memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah dari bayi yang lahir dengan tinggi badan normal," katanya kepada politikindonesia.com disela-sela Dialog Lintas Agama, bertema "Kampanye Gizi Nasional Cegah Stunting," di Jakarta, Selasa (14/11).
Menurutnya, faktor penyebab Stunting adalah jenis makanan, kontrol frekuensi makan kepada bayi yang kurang, dan pelayanan kesehatan yang kurang. Jadi orangtua yang keadaan sosial ekonominya tinggi, anaknya ada yang mengalami Stunting sekitar 29 persen. Hal itu terjadi karena orangtua salah memberikan makanan yang tidak bergizi untuk anaknya dan pola makan anak yang tidak tepat. Sedangkan yang mengalami sosial ekonomi rendah, jumlah anak Stunting sekitar 48 persen. Itu karena orangtuanya memang benar-benar tidak memiliki biaya untuk memberikan makanan sehat kepada anaknya.
"Sebenarnya anak Stunting di Indonesis bisa dicegah, kalau saja para orangtua mau memperhatikan segala yang dibutuhkan bayi pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hal itu dimulai dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada 2 tahun pertama setelah lahir. Karena pemenuhan gizi ibu hamil, memberi ASI eksklusif kepada bayi sampai 6 bulan, memberi Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang cukup dan berkualitas, hingga akses terhadap air bersih dan sanitasi adalah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah Stunting," paparnya.
Sementara itu, dari Majelis Tarjih dan Tadjid PP Muhammadyah, Wawan Gunawan Abdul Wahid menambahkan, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk menyelesaikan masalah Stunting. Bahkan, masalah tersebut bisa juga diselesaikan dengan pendekatan kegiatan keagamaan. Misalnya, dalam kegiatan pengajian, para ibu-ibu bisa diberi pengetahuan tentang bahaya Stunting. Karena anak yang mengalami Stunting akan sulit melahirkan generasi kuat atau generasi terbaik umat.
"Makanya, kami menolak Stunting yang merupakan kekurangan gizi kronis. Stunting tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dicegah. Stunting bukan semata masalah tinggi badan, tetapi menghambat perkembangan otak dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular di saat dewasa. Sehingga berdampak pada meningkatnya risiko kesakitan dan infeksi. Selain itu, juga berisiko kurangnya pengetahuan, minimnya prestasi belajar dan ketika dewasa mudah mengalami kegemukan," ujarnya.
Diungkap Wawan, menjadi seorang muslim jangan terlalu pasrah, harus berusaha menjadi yang terbaik. Memuliakan manusia, konsepnya sejak masa sebelum lahir, bahkan sejak ovum dan sperma bertemu. Fastabiqul khairat itu bukanlah berlomba-lomba dalam kebaikan, tapi menjadi yang terbaik. Penting untuk mengajari umat berbagi kepada mereka yang masih memerlukan perbaikan gizi. Oleh sebab itu, edukasi tentang asupan makanan yang seimbang perlu dilakukan, termasuk mengedukasi suami untuk mengurangi konsumsi rokok agar dialihkan ke konsumsi makanan bergizi.
"Jihad yang kami lakukan untuk mengatasi Stunting ini dampaknya akan dirasakan 10-20 tahun ke depan. Apalagi, kekurangan gizi pada masa ini tidak hanya menyebabkan pertumbuhan terhambat, perkembangan otak juga menjadi tidak maksimal sehingga kemampuan kognitif terhambat. Selain itu, kita juga harus bisa berhenti memproduksi bayi dengan panjang kurang dari 49 cm. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa gizi adalah investasi bangsa. Maka beri ASI minimal 8 kali sehari untuk memenuhi kebutuhan bayi," ulasnya.
Pada kesempatan yang sama, Yoel M. Indrasmoro, Pendeta Anak Gereja Kristen Jawa Jakarta menyatakan, setiap orangtua mendambakan anak yang sehat dan cerdas. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan peningkatan kesehatan dan gizi semua pihak harus mendukung program pemberdayaan masyarakat, pelatihan tenaga kesehatan. Selain itu, pemberian suplemen gizi mikro untuk ibu dan balita serta memfasilitasi untuk memiliki dan menggunakan jamban sehat dan mau mengkonsumsi air minum yang aman.
"Semua itu juga harus dibarengi dengan adanya upaya perubahan perilaku dan advokasi terhadap berbagai pemangku kepentingan. Karena semua program tersebut tidak akan berjalan tanpa perbaikan perilaku serta kebijakan pemerintah yang kondusif. Selain itu mobilisasi berbagai sektor dan pihak dalam pencegahan Stunting harus menjadi prioritas bersama," tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved