Persoalan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia adalah isu yang sensitif. Langkah pemerintah yang melonggarkan perizinan TKA sempat menjadi sorotan. Diyakini, peningkatan kemampuan penguasaan teknologi, dapat membangun kedaulatan industri nasional.
Plt. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto mengatakan, pihaknya harus memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi terhadap dinamika perubahan. Sehingga senantiasa mampu meningkatkan kualitas dan manfaat teknologi hasil penelitian terhadap peningkatan daya saing masyarakat. Untuk itu, pihaknya berkomitmen untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Kami akan berusaha menjawab tantangan untuk menghadapi era industri 4.0 dengan memperkuat struktur organisasi, tupoksi dan sumber daya manusia. Sehingga hasil penelitian kami bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan tak perlu khawatir akan kalah saing dengan hasil penelitian TKA,” katanya dalam Diskusi Panel Serial (DPS) ke-12 yang diadakan diadakan Aliansi Kebangsaan, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YNSB) dan FKPPI bertema “Iptek dan Industri”, di Jakarta, Senin (14/05).
Menurutnya, industri adalah sarana bagi perkembangan dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi oleh dunia usaha untuk mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. Semua ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di dunia ini, pengembangan Industri semakin besar dan maju dengan pesat selepas revolusi industri di dunia Barat. Apalagi memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi dan industrinya. Hal ini karena Indonesia tidak ketinggalan dalam capaian publikasi ilmiah dan sitasi.
“Jumlah publikasi LIPI sejak Januari-November 2017 misalnya, dicatat sebanyak 1.535 publikasi baik nasional maupun internasional dengan porsi 40 persen. Di antaranya merupakan publikasi internasional dengan kualitas terbaik. Jumlah sitasi atas publikasi dari peneliti/sivitas LIPI per 30 November 2017 mencapai 161.409 sitasi. Namun demikian hal itu belum cukup jika untuk menempuh jalur industri itu sendiri,” ungkapnya.
Menurutnya, untuk menempuh jalur industri, Indonesia perlu memperkuat terus R&D agar menghasilkan teknologi sendiri. Selain itu juga memberikan perlindungan atau insentif pada pihak yang memanfaatkan teknologi baru hasil negeri sendiri, dan menyediakan infrastruktur atau sarana untuk menguji teknologi baru, untuk interaksi dan sekaligus alih teknologi.
“Karena untuk mencapai penguasaan teknologi, pihaknya membagi elemen dari sisi penelitian Sumber Daya Manusia, program dan anggaran hingga infrastruktur. Dari kesemua itu kedepannya diharapkan dapat memperkuat riset dan pengembangan agar menghasilkan teknologi sendiri,” ulasnya.
Sementara itu, Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo menambahkan, penguasaan teknologi yang baik sangat membantu para pekerja meingkatkan nilai dan kemampuan agar bisa diterima di dunia industri tanpa khawatir akan persaingan dengan tenaga asing. Namun demikian untuk menapak ke jalan revolusi industri, pembangunan industri yang terkait dengan dunia inovasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi ini tidak dapat dilakukan dengan pendekatan sektoral saja.
“Yang tidak boleh dilupakan dalam pengembangan industri dan teknologi guna dalam menapaki revolusi industri adalah diperlukannya dunia usaha. Dunia usaha ini perlu memiliki sentuhan keindonesiaan yang mengedepankan kebersamaan atau gotong royong. Ia tidak boleh saling dihadap-hadapkan satu sama lain, melainkan perlu diintegrasikan secara nasional demi mencapai tujuan bersama”, ujarnya.
Dia menjelaskan, sebagaimana di dunia Barat, ternyata tradisi keagamaan juga dapat menjadi salah satu faktor pendorong kemajuan industri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kemajuan industri China pada tahun-tahun terakhir ini yang ternyata juga mengembangkan kombinasi antara etika Konfusian yang merupakan sumber nilai dasar masyarakat China dengan semangat kapitalisme dan komunisme dalam bentuk baru yang tercerahkan.
“Konsep tersebut kiranya dapat diterapkan di Indonesia karena agama Islam dianut sebagian besar bangsa Indonesia yang bersahabat dengan dunia perdagangan dan teknologi. Sehingga Indonesia dapat menapaki jalan revolusi industrinya seperti China,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan jika revolusi industri secara teknis dimulai dari adanya revolusi industri baja. Karena itu jika Indonesia ingin masuk ke revolusi industri, Indonesia perlu mengelola industri bajanya dengan sungguh-sungguh agar mampu terbangun kedaulatan industri nasionalnya. Terlebih, sumber daya mineral bijih besi dan tembaga Indonesia juga melimpah.

Sayangnya pengembangan industri baja di Indonesia belum maksimal. Sebagai akibatnya Indonesia importer baja terbesar ketiga dunia (10,9 juta ton), dibawah EU (11,8 juta ton), dan AS (21,1 juta ton). Sementara itu sebagai eksportir baja utama dunia adalah China (94,6 juta ton), Jepang (34,5 juta ton), Rusia (26,7 juta ton), serta Brazil (11,6 juta ton). Sekalipun sebagai salah satu importer ternyata kebutuhan konsumsi baja Indonesia masih yang terendah diantara Malaysia (336 kg perkapita) dan Thailand (258 kg perkapita), sedangkan Indonesia hanya sebesar 51 kg perkapita.
“Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya kebutuhan baja Indonesia sangatlah besar, sehingga industri baja perlu terus mendapat dukungan dan dorongan ke depannya. Karena industri baja merupakan ibu industri dalam peran pembangunan dan kekuatan industri nasional,” kata Mas Wigrantoro.
Sementara itu, Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo yang membuka langsung diskusi tersebut. Dalam sambutannya, Pontjo menyampaikan, Sebagaimana di dunia Barat, ternyata tradisi keagamaan juga dapat menjadi salah satu faktor pendorong kemajuan industri,” imbuhnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved