Surat dari Markas Besar Polri tertanggal 3 Mei 2010 lalu bernomor R/703/V/2010/Sde kini menjadi biang kegundahan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Isi surat itu tentang permintaan untuk penarikan empat penyidik polri yang dipinjamkan ke KPK yakni Dafief, Bambang Tertianto, Irhamni, dan Rony Samtana.
Mungkin, KPK tak akan sedemikian gundah, jika penyidik polri lainnya yang ditarik. Soalnya, keempat orang ini adalah penyidik yang menangani kasus dugaan percobaan penyuapan terhadap sejumlah pejabat dan pimpinan KPK yang ditudingkan kepada Anggodo Widjojo. Dan, kasus ini tengah bergulir di sidang Tipikor.
KPK punya kepentingan untuk menuntaskan terlebih dahulu kasus adik dari buronan Anggoro Widjojo itu. “Kita harapkan petinggi Polri memahami kondisi KPK atas kebutuhan dari penyidik itu,” harap Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin, Selasa (11/05) malam.
Jasin mengeluhkan perbandingan jumlah penyidik dengan beban kerja KPK yang tidak seimbang. Atas dasar itu, dia berharap empat penyidik tadi masih dapat dipertahankan. “Pimpinan akan mengadakan rapat pimpinan. Tentunya kita mengajukan penggantinya, tapi itu kan perlu proses,” ungkap dia. Sedangkan, perkara Anggodo tengah disidangkan.
Butuh waktu, karena proses penggantian penyidik harus melalui mekanisme seleksi. Selama ini ujar Jasin, jika yang KPK butuhkan empat orang penyidik, Kepolisian ataupun Kejaksaan bisa mengirim dua kali lipat calon yang akan diseleksi.
Tersandera
Belajar dari kasus ini, KPK juga akan mengkaji nota kesepahaman antara Kepolisian dan Kejaksaan. Nantinya, kesepahaman akan memperhatikan dasar aturan yang disesuaikan dinamika kondisi yang ada.
Keinginan KPK untuk mempertahankan penyidik yang menangani kasus Anggodo itu juga atas dasar penyelesaian penyidikan. “Memang ada evaluasi, dalam evaluasi bisa saja ditarik ke instansi asal, jika berprestasi bisa saja diperpanjang di KPK untuk periode berikutnya,” ujar dia
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah menilai, mekanisme yang ada saat ini telah membuat KPK tersandera oleh polri dan kejaksaan. Pasalnya, setiap saat, pegawai-pegawai dari dua instansi ini bisa ditarik institusi 'induk' meski perkara yang tengah diusut masih bergulir. “Independensi KPK tidak penuh. KPK tetap tersandera dengan penarikan-penarikan perwira ini," ujar dia, Rabu (12/05).
ICW mengusulkan agar KPK punya penyidik yang independen. Dalam pandangannya, KPK tidak perlu khawatir terhalang oleh Undang-Undang. Karena, Pasal 45 UU KPK menyebutkan bahwa Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan dasar ini, KPK bisa punya pendidikan penyidik sendiri dan mengadakan penyidik sendiri. “Tidak tergantung pada Polri atau jaksa dari Kejaksaan," tegas Febri.
Emerson Juntho, peneliti ICW lainnya malahan curiga alasan penarikan empat penyidik itu tidak tulus dari Polri. “Kami curiga itu. Khawatir ada pihak-pihak tertentu yang meminta Mabes Polri untuk menarik penyidiknya,” ujar dia di Jakarta, Rabu (12/05).
Kecurigaan Emerson, karena empat orang itulah yang melakukan penyidikan atas Anggodo. Adik kandung Anggoro Widjojo, yang tak lain adalah buron kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan itu kini menjadi terdakwa dalam kasus dugaan penyuapan sejumlah pejabat negara serta dugaan menghalang-halangi penyelidikan kasus korupsi SKRT. Anggodo dijerat Pasal 15, Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP
Senada dengan Febri, Emerson turut mendorong agar KPK agar punya penyidik independen. “Penyidik independen untuk menghindari intevensi,” ungkapnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved