Bila masyarakat pers sadar se sadarnya, banyak hal yang bisa di tuai dari problema gesekan antara Tomy Winata dan berita Majalah Tempo. Bahasa sederhananya, bisa dimulai dengan kata : [Mentang-mentang] dan [Enak Sekali].
Mentang-mentang merasa dirinya menjadi media idola dan besar, Tempo bisa mengakuisisi hak azasi masyarakat. Gosippun mampu disajikan secara provokatif, yang bila kita meminjam bahasa Jawa {menggatuk-gatukkan} antara Ayam dan Hujan.
Apa hubungannya antara Ayam dan Hujan? Ya tentu ada, jika di{gatuk-gatukkan}. Kalau hujan turun, Ayam akan mencari tempat berlindung. Kalau hujan tidak turun, Ayam sibuk berkokok dan mengais-ngais sampah guna mencari cacing.
Nah, karena Mentang-mentang itu tadilah, maka berita Majalah Tempo yang jumlahnya dua halaman itu, bisa diterbitkan. Dicetak rapi dan dikemas secara rapi. Dan buntutnya, Kantor Majalah Tempo di datangi oleh sekelompok rakyat yang menyampaikan aspirasinya.
Mentang-mentang sumber bisa dilindungi dan itu diatur dalam undang-undang yang berlaku di negeri ini, informasi dan data fiktif-pun juga turut dilindungi. Enak sekali. Media massa (cetak,elektronik,cyber media) memang bisa {sak mena-mena} menggunakan selimut hukum yang dimilikinya. Enak sekali. Sehingga hak azasi manusia bisa dilindas dan di kooptasi {sak} sukanya.”Jika keberatan dan dirugikan, silahkan gunakan Hak Jawab,” begitu Bambang Harimurti, jagoan Majalah Tempo menepis pertanyaan anggota Komisi I DPR RI Hajjah Aisyah Amini.
Guna lebih meyakinkan Aisyah Amini, jagoan Tempo Fikri Jufri lantas menambahkan, “Silahkan ibu Aisyah telpon saya, maka akan saya muat satu halaman besar di Koran Tempo.” Nah, ya itu tadi, mentang-mentang dan enak sekali.
Mari kita balik bertanya, bila jurnalisme “gaya Tempo” yang memang disepakati oleh masyarakat pers di Indonesia, seperti dalam konteks penulisan yang berkaitan dengan Tomy Winata di Tanah Abang, itu yang dibenarkan, maka bisa dibayangkan, setiap hari masyarakat Indonesia akan heboh setiap saat serta akan terjadi aksi penggalangan-penggalangan oleh beragam kelompok guna membela kepentingannya yang tertindas oleh masyarakat pers di Indonesia.
Tak percaya? Simak standard operation dan procedure (SOP) yang dituturkan Ahmad Taufik, ketika mendiskrifsikan pikirannya saat ingin menulis soal Pasar Tanah Abang.
Awalnya , Rapat Opini (?), Rapat Perencaaan dan Penulisan. Apa yang menjadi bahan Rapat? Isu dan katanya (kata arsitek,kata pedagang). Tempo sama sekali tidak memiliki data. Yang dimiliki hanya isu. Lantas dilakukanlah wawancara dengan beragam pihak. Dan beragam pihak semua membantah Isu dan Katanya yang dimiliki Tempo. Sudah benarkah cara dan gaya menurunkan berita yang begini?
Nah, bila cara dan gaya ini yang disepakati oleh masyarakat pers Indonesia, tentu kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi di Bumi Pertiwi ini. Tak percaya? Mari kita misalnya:
[Wartawan]: Pak Bambang Harimurti (BH), saya butuh konfirmasi, karena saya baru dapat SMS yang mengatakan bahwa Anda memperkosa Ibu mertua Anda dihadapan istri Anda?]
[BH]: Itu gosip, itu fitnah. Tolong Anda buktikan.
[Wartawan]: Ya itulah gunanya kita konfirmasi. Agar {balance} dan {coverboth side}. Jadi tidak benar Pak?
[BH]: Sama sekali tidak benar. Fitnah itu.
[Wartawan]: Oke Pak, terima kasih.
Keesokan harinya, di media tempat wartawan itu bekerja, yang kebetulan tirasnya lagi {empot-empotan} dan iklannya lagi {merem-melek}, berita itu ditempatkan menjadi {headline} dengan judul: [Bambang Harimurti Gagahi Ibu Mertua ?]. Sementara di tubuh berita dikutip seluruhnya hasil wawancara wartawan bersama BH serta apa yang tertulis di dalam SMS tadi. Kemudian ditambah diskripsi yang provokatif dan insinuatif plus hasil {menggatuk-gatukkan} pendapat aktifis pembela perempuan dan hak azasi manusia serta pakar hukum. Enak sekali dan Mentang-mentang. Toh, sudah {cober both side dan balance}.
Dan berita seperti ini, bisa menimpa siapa saja. Apa yang akan terjadi kemudian, bila jurnalisme “gaya Tempo” dalam konteks Tomy Winata di Tanah Abang disepakti oleh bangsa ini? Pers akan menjadi pemegang seluruh otoritas kehidupan berbangsa dan bernegara. Modalnya gampang: [Isu dan Konfirmasi.] Cukup hanya itu. Toh, masyarakat punya Hak Jawab. Toh untuk tidak mengungkapkan nara sumber itu dilindungi undang-undang.
© Copyright 2024, All Rights Reserved