Indonesia memang membutuhkan investasi asing saat ini. Sayangnya, kecenderungan investasi asing yang masuk ada yang hanya “mengakali” Indonesia. Dan yang sangat memprihatinkan, keberpihakan pemegang otoritas yang menangani permasalahan ini, kurang all-out membela kepentingan Indonesia. Cenderung “bersahabat” dengan si investor dengan alasan alasan klasik. Sehingga nilai tambah maksimal tak diperoleh, bahkan malah merugikan.
Simak saja beragam persoalan yang terjadi di sektor industri Migas. Sebut misalnya, sepak terjang Beyond Petroleum (BP) Indonesia. Antara lain di ladang Terang Sirasun, Kangean, Jawa Timur. Ladang Tangguh, Bintuni, Papua, ladang Muria hingga di Kaltim Prima Coal (KPC).
Memang, BP Indonesia lebih banyak memainkan aksi sebagai pebisnis sejati, ketimbang menjadi investor yang mengembangkan bisnis saling menguntungkan bagi Indonesia. Sebagai pebisnis sejati, target BP adalah mengejar untung. Bisa saja melalui celah cost recovery. Atau melakukan penguasaan bisnis secara vertical integration dan permintaan insentip diluar kewajaran.
Kelincahan BP Indonesia di Indonesia dapat dilihat pada kasus Tangguh. Ladang gas yang terletak di Teluk Bintuni, Papua Barat ini adalah yang terbesar di tanah air. Di bawah lahan seluas 3.416 hektar itu terkandung tak kurang dari 23,7 triliun kaki kubik gas alam cair ({liquified natural gas}/LNG). Dengan mengantongi PSC ({production sharing contract}) dari pemerintah, BP Indonesia menjadi operator untuk ladang gas tersebut.
Perusahaan asal Inggris tersebut menguasai 37,16 persen saham proyek Tangguh sekaligus sebagai operator. Mitra BP dalam proyek ini, antara lain: CNOOC Ltd. dengan saham 16, 96 persen, MI Berau BV (kini dimiliki Mitsubishi Corp. dan INPEX Corp.) 16, 30 persen, Nippon Oil Exploration Berau 12, 23 persen, KG Companies (dimiliki Japan National Oil Corp., Kanematsu Corp., dan Overseas Petroleum Corp.) 10 persen, serta LNG Japan Corp. (dimiliki Sojitz Corporation dan Sumitomo Corp.) 7, 35 persen.
BP Indonesia yang merupakan gabungan dari British Petroleum, Amoco, Burmah Castrol, dan ARCO akan membuka dua ladang gas lepas pantai di Teluk Bintuni pada 2004-2005. Perusahaan itu juga akan mendirikan pabrik pengolahan LNG di atas areal 600 hektar di wilayah hutan hujan.
Dari brosur BP Indonesia, tercantum cadangan pasti (proved) bersertifikat DeGolyer & MacNaughton di ladang Tangguh saat ini sebesar 14,4 trilun kaki kubik gas. Sedangkan 18,4 triliun kaki kubik gas merupakan cadangan pasti dan memungkinkan untuk dieksploitasi selama 25 tahun.
Untuk menyedot gas bumi itu, BP berencana mulai membangun Proyek Tangguh pada 2002 silam. Dimulai dengan menyediakan dua kereta gas (train), berkapasitas masing-masing tiga juta ton. Kereta pertama diharapkan selesai pada 2005 dan yang kedua purna di pertengahan 2006. Rencananya, ladang Tangguh mulai berproduksi pada 2007, sebesar 1,6 juta ton pada tahun pertama dan meningkat menjadi 2,6 juta ton per tahun pada 2010.
Namun, di balik kandungan gas yang begitu besar, Tangguh ternyata tak setangguh kandungannya. Proyek itu menyimpan potensi kerugian untuk negara dan dipandang sebegai proyek yang tidak efisien dan tidak menguntungkan. Diprediksi negara hanya mendapat ampas kosong dari eksploitasi gas tersebut.
Seperti yang dikemukakan pengamat industri perminyakan Effendi Situmorang. Tangguh merupakan proyek yang dipaksakan oleh pejabat-pejabat di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral untuk dikembangkan. "Padahal, sejak awal, saya sudah katakan proyek itu tidak komersial dan rugi," ujar mantan Direktur Manajemen Production Sharing Pertamina itu.
Omongan Effendi itu ada benarnya. Jika menyimak pada perjanjian jual beli (sales purchase agreement) yang ditandatangani 26 September 2002 silam, selama 25 tahun ke depan LNG Tangguh akan dijual ke Provinsi Fujian, Cina. Jumlahnya mencapai 2,6 juta ton per tahun.
Sayangnya, hasil penjualan itu tidak akan menggemukkan kas negara. Kenapa? Pokok perkaranya adalah pola first trance petroleum. Pola ini berarti, 80 persen dari pendapatan kotor Tangguh akan dipakai untuk menutup biaya investasi dan operasi atau {cost recovery} yang dikeluarkan kontraktor. Sisanya, 20 persen, dibagi dua antara pemerintah dan kontraktor sebagai bagi hasil.
Yang membuat biaya produksi menjadi tinggi karena kilang LNG Tangguh dibangun dari titik nol. Untuk itu, pada tahap awal, BP harus mengucurkan biaya investasi 2,2 miliar dolar AS. Nah, jika mengacu pada pengeluaran seperti tercantum dalam PSC, jumlah biaya yang akan dikeluarkan sekitar 5,7 miliar dolar AS, yang kemudian akan diganti pemerintah melalui pos cost recovery.
Sesuai ketentuan PSC Pemerintah Indonesia –diwakili Badan Pelaksana (BP) Migas- akan menerima bagian 70 persen dan perusahaan PSC mendapat 30 persen. Yakni berasal dari hasil penjualan LNG dikurangi seluruh investasi plus biaya operasi perusahaan PSC.
Dengan pola pembagian ini, jelas selama dua puluh tahun, pemerintah hanya akan kebagian tak lebih dari 1,89 miliar dolar AS (70 persen dikali 8,4 miliar dolar AS dikurangi 5,7 miliar dolar AS). Ini terjadi, mengingat pendapatan 2,7 miliar dolar AS itu belum dipotong biaya operasional.
Seperti yang dikemukakan pakar perminyakan dan gas bumi Prof. Dr. Kurtubi. Proyek di ladang gas terbesar Indonesia itu tidak menguntungkan negara dan justru malah merugikan. Pasalnya, penerimaan negara dari ladang Tangguh itu diprediksi sangat kecil. “Harga jual gasnya teramat murah,” kata ekonomi energi dari Colorado School of Mine, Denver, Amerika itu.
Sesuai SPA ke Cina, gas Tangguh hanya dihargai 2,4 dolar AS per million metric british thermal unit (mmbtu). Jauh di bawah harga gas Bontang yang dijual ke Jepang, Taiwan, dan Korea seharga 3,5 dolar AS per mmbtu. Bahkan jauh lebih rendah dengan harga yang ditawarkan kilang North West, Australia (Agustus 2002) yang menjual 3,6 dolar AS per mmbtu ke Provinsi Guangdong, Cina, juga untuk jangka waktu 25 tahun.
Alasan lain yang dikemukan Kurtubi adalah karena dalam penanganan proyek Tangguh semuanya ditangani kontraktor. Tidak seperti proyek gas di Arun dan Bontang dimana BP Migas ikut terlibat. Kurtubi melihat ini sebagai bentuk kegagalan Undang-Undang No. 21/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dengan UU tersebut kontraktor punya kewenangan untuk menentukan proyeknya.
Seperti diketahui, BP yang ditunjuk oleh BP Migas untuk mengerjakan proyek LNG Tangguh, menjual hasil gas disana ke Fujian, Cina. Harganya, US$ 2,4 dolar/ MMBTU. Harga tersebut jauh lebih rendah dari harga jual proyek LNG milik BP di North West, Australia. Gas disitu dijual BP ke Guangdong seharga US$ 3,6 dolar / MMBTU.
Sebenarnya, BP menyertakan LNG Tangguh dalam Tender penjualan gas di Guangdong. Namun, Tangguh kalah dalam tender tersebut. Bagi BP, penjualan LNG Tangguh atau LNG North West sama saja karena keduanya milik BP. Akhirnya, pemerintah Cina bersedia membeli LNG Tangguh untuk Fujian tanpa proses tender. Namun BP hanya menjual LNG Tangguh seharga US$ 2,4 dolar/MMBTU, dalam rate harga minyak sebesar US$ 20 dolar. Sehingga menimbulkan beragam pertanyaan apakah penentuan harga tersebut menggunakan metode S Curve.
Untuk urusan kontrak, BP memang tergolong cerdik. Bayangkan, sudah mendapat untung besar, BP juga meminta agar pemerintah menyediakan garansi saat mereka mengeksplorasi ladang gas. Seperti draf perjanjian penjualan gas (gas sales agreement) yang mereka buat, sebagai bagian dari government act, BP meminta pemerintah memberikan garansi jika ada hal-hal yang mengganggu proses produksi dan pengiriman. Sebagai pengganti hilangnya future profit itu, pemerintah harus membayar 300 juta dolar AS.
Bukan hanya itu. Pemerintah juga wajib membayar ganti rugi atas beberapa kondisi seperti perubahan UU atau peraturan pemerintah, atau peraturan baru yang bisa menghalangi penjualan gas seperti yang disepakati dalam kontrak.
Disamping itu, cost recovery yang harus dikembalikan pemerintah untuk BP sangat besar, yaitu US$ 710 juta. Hitung punya hitung, selama 10 tahun ke depan, semua hasil penjualan LNG Tangguh jatuh ke kantong BP.
Muncul pertanyaan, kenapa pemerintah menyetujui PSC yang nyata-nyata tidak menguntungkan tersebut? Siapa yang mengeduk untung?
© Copyright 2024, All Rights Reserved