Untuk pertama kali, Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia memberikan anugerah Hak Asasi Manusia Indonesia-Yap Thiam Hien kepada seorang "penyair rakyat" Wiji Widodo alias Wiji Thukul. Anak seorang tukang becak yang lahir di Sologenen Solo pada tahun 1963 ini terpilih oleh dewan yuri Yap Thiam Hien 2002, yang terdiri dari Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto, H.S. Dillon, Prof. Dr. Azyumardi Azzra, Harkristuti Harkrisnowo dan Asmara Nababan.
Wiji Thukul lahir dan dibesarkan di keluarga dari kalangan masyarakat yang termarjinalisasi di Solo Jawa Tengah. Dalam masyarakat miskin perkotaan ini, Wiji sejak usia muda mulai menulis puisi-puisi, menginjak usia dewasa puisi-puisinya mempertanyakan berbagai kenyataan hidup orang miskin. Mengungkap berbagai ketidakadilan dan pengingkaran harkat dan martabat manusia.
Melalui puisinya dia mengajak kaumnya bangun untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang asasi. Puisinya ditulis dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami semua orang. Nilai-nilai yang ia komunikasikan lewat coretannya merupakan nilai-nilai kemanusiaan.
Memang Wiji Thukul tidak berbicara mengenai deklarasi, konvensi, standar dan instrumen Hak Asasi Manusia, tapi sadar atau tidak Wiji Thukul telah berjuang dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi awal dan akhir dalam penegakan Hak Asasi Manusia.
Apa yang ia lakukan memang istimewa. Karena Wiji juga "mengamenkan" puisi-puisinya di kelompok miskin, buruh di perkotaan dan perkebunan, petani dan orang kampung, sampai ke lingkungan kampus, pusat kesenian dan tempat lainnya di kota-kota besar.
Penduduk Jagalan Pucang Sawit ini, mulai dikenal oleh kalangan anak muda pada saat ia bersama warga lainnya melakukan aksi terhadap pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pabrik tekstil Sari Warna Asli pada tahun 1992. Wiji Thukul juga ikut bergabung dengan aksi-aksi perjuangan petani di Ngawi pada tahun 1994, tahun 1995 Wiji memimpin aksi pemogokan buruh PT Sritex.
Kemudian bersama kalangan mahasiswa dan anak muda yang kritis terlibat untuk memperjuangkan kebebasan sipil, melalui aksi-aksi di jalanan diperbagai kota dipulau Jawa.
Semua itu ia kerjakan dengan segala kerendahan hati, perjuangannya tidak didefinisakan dalam berbagai pretensi, tapi dengan sederhana seperti pernah ia katakan: "Saya tidak ingin disebut pahlawan karena berjasa memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sungguh saya hanya bicara soal diri saya sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan saya semuanya melarat".(Wawancara Wiji Thukul: Jurnal Revitaliasi Sastra Pedalaman, 2 Nopember 1994)
Rakyat kecil yang bernama Wiji Thukul ini, melakukan semua itu dalam satu rezim otortiter yang bukan hanya tidak mengormati hak asasi manusia, bahkan dengan tersenyum dapat melakukan penangkapan sewenang-wenang, penghilangan secara paksa, bahkan samapai pembantaian. Wiji Thukul kenal betul dengan perilaku penguasa saat itu Wiji pernah ditangkap, menjadi korban kekerasan aparat keamanan. Mata kirinya buta akibat hantaman popor senapan ketika ia memimpin demonstrasi buruh pabrik Sritex pada tahun 1995.
Setelah meletus peristiwa berdarah yang lebih dikenal dengan peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, Wiji Thukul diburu oleh aparat. Karena lima hari sebelum meletusnya peristiwa tersebut, Partai Rakyat Demokratik PRD yang dijadikan "kambing hitam" oleh penguasa pada saat itu, dideklarasikan di YLBHI, tepatnya pada tanggal 22 Juli 1996. Thukul hadir dalam acara tersebut. Wiji Thukul harus melarikan diri dari pengejaran penguasa, bersembunyi , meninggalkan dua anak dan istrinya.
Wiji sadar betul ia hidup dalam satu kenyataan dimana haknya yang asasi tidak dapat lagi dilindungi. Sampai saat ini nasib dan keberadaannya tidak diketahui. Wiji Thukul menambah daftar panjang dari orang hilang di negeri ini. Orang-orang yang dihilangkan secara paksa. Wiji Thukul telah menjadi korban kezaliman suatu kekuasaan yang tidak mengormati sesama manusia berikut hak-haknya. Wiji Thukul seorang martir yang dapat menjadi simbol kemenangan moral kemanusiaan.
Wiji Thukul sudah selayaknya mendapat penghargaan pertama dan utama, atas apa yang dilakukannya dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Penghargaan ini juga menjadi lonceng peringatan bagi kita semua bahwa: menghilangkan secara paksa merupakan kejahatan yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Lonceng yang mengingatkan bahwa kita semua berhutang kepada keluarga, sahabat dan kekasih dari orang-orang yang dihilangkan di negeri ini. Tentulah bahwa yang paling berhutang adalah negara terutama pemerintah.
Dyiah Sudjirah alias Sipon istri Thukul yang menerima penghargaan tersebut dengan didampingi kedua orang tua Wiji Thukul dan kedua anaknya yaitu, Fitri Nganti Wani dan Fajar merah, mengharapkan suaminya yang hilang sejak enam tahun lalu bisa kembali berkumpul di tengah-tengah keluarga. "Sipon juga berharap, penghargaan Yap Thiam Hien yang diberikan kepadanya mempunyai arti bagi kemajuan HAM di Indonesia. Sipon tidak ingin lagi nasib yang menimpa suaminya terjadi pada mereka yang memperjuangkan kemajuan Hak Asasi Manusia".
Sipon, penjahit yang tinggal di Kampung Jagalan Jebres, Solo, tidak mampu menahan haru. Dia nyaris pingsan dan roboh kepangkuan adik Wiji Thukul, Wahyu Susilo.Dalam sanbutannya Wahyu yang mewakili keluarga Thukul mengatakan, "Kini, sedikit demi sedikit, Wani dan Fajar tahu, bahwa ayahnya tidak bisa pulang karena memperjuangkan sebuah keyakinan. "Kami mungkin kehilangan Thukul, tapi kami tidak kehilangan semangat dan keyakinan yang diperjuangkan Thukul".
© Copyright 2024, All Rights Reserved